Satu bulan setelah kematian Pak Aslan, Meranti mulai bisa beradaptasi. Hanya saja, ada yang berubah darinya kini; suka bicara sendiri. Namun, ia tidak gila. Sama sekali tidak. Meranti hanya sering bergumam seolah ia tengah mengadukan apa saja kepada mendiang ayahnya yang telah tiada.
“Pa, hari ini Mera akan kembali ke Padang. Mera udah masuk kuliah lagi. Bentar lagi juga bakalan nyusun skripsi. Waktu pasti akan berputar dengan cepat. Walau sekarang masih semester tiga, eh tahu-tahu udah nyusun aja. Papa sering bilang, kalau Mera bisa lulus tepat waktu dengan IPK bagus, Papa bakalan belikan apa pun yang Mera mau. Entar, kalau Mera bisa meraihnya, Mera tuntut itu semua sama Papa, ya.”
Melihat anaknya seperti itu, Bu Yuli jadi kasihan. Namun, ia tak dapat berbuat apa-apa selain mendoakan yang terbaik untuk buah hati tercinta. Paska ditinggal Pak Aslan, kehidupan perekonomian keluarga mereka pun jadi carut-marut. Biasanya Bu Yuli berdagang hanya untuk mencari tambahan atau minimal menambah tabungan masa depan Meranti. Sekarang, sedikit demi sedikit sisa uang yang disimpan sekian lama, susut juga.
Bu Yuli jadi semakin ekstra berjualan makanan. Siang dan malam. Segala aneka kue dibuat. Kadang laku, sering terbuang percuma.
Bulan terus berganti. Sampai tiba saatnya seorang pria menjatuhkan pilihan untuk melamar Bu Yuli. Dia sudah mencari tahu tentang janda Pak Aslan tersebut. Dia pun telah cukup lama menduda paska ditinggal mati istri dengan meninggalkan tiga orang anak yang masih terbilang kecil. Ia butuh pendamping, sekaligus wanita yang cakap mengurus dirinya dan anak-anak.
“Yuli, maukah kamu menikah dengan saya. Saya memiliki usaha yang baik. Saya bisa menghidupimu dan memberikan jaminan hari tua tanpa kekurangan harta sepeser pun.”
Pak Hadi nama laki-laki itu. Ditemani oleh Bu Lela—salah seorang tetangga dekat Bu Yuli dan Bu Lastri, ia pun datang melamar perempuan yang telah menjanda hampir satu tahun belakangan. Kepala desa tempat Bu Yuli tinggal pun mendukung dengan penuh upaya Pak Hadi ingin memperistri perempuan itu. Mereka kasihan. Bu Yuli adalah wanita baik dan pintar mengurus rumah tangga. Ia kesusahan menghidupi diri dan Meranti yang kini tengah menempuh pendidikan di Kota Padang. Sedangkan pihak keluarga Pak Aslan yang tersisa, tidak mau tahu dengan mereka. Ada pun kerabat Bu Yuli yang tinggal dekat dengan mereka, tak dapat membantu banyak. Hidup Bu Lastri tak begitu baik dari Bu Yuli kini.
“Tapi saya punya seorang anak yang saat ini tengah kuliah. Butuh biaya yang cukup besar ….”
“Tidak ada masalah dengan itu. Saya juga punya dua putri dan satu putra. Untuk urusan pendidikan dan kecukupan bulanan anak-anak, akan saya sama ratakan tanpa membedakan. Kalian juga bisa tinggal di rumah kami. Bilang pada putrimu, kalau pulang kampung, ke rumah kami saja. Itu semua tidak akan jadi hambatan.” Pak Hadi segera memotong.
“Maksud saya, saya ingin berbincang dulu dengan Meranti. Dia pasti akan terkejut dengan berita ini kalau saya sampai tidak diskusi dulu dengannya.”
“Yuli, sekarang ini, pikirkan saja bagaimana masa depan Meranti. Dengan kamu menerima pinangan Pak Hadi, biayanya pasti akan terpenuhi tanpa kekurangan. Kuliah, makin lama kian mahal. Belum lagi pas skripsi. Aduh, saya sudah melewati itu semua. Biaya wisudanya pun tidaklah murah. Sementara kamu, kasihan sekali Yuli. Setiap hari banting tulang. Kadang saya lihat, daganganmu tak sampai ludes. Kamu jadi harus berhemat, demi Meranti,” ucap Bu Lela, salah satu tetangga yang peduli pada Bu Yuli.