MARAPI

Da Pink
Chapter #4

#4 Peringatan

Hari yang ditunggu oleh Pak Hadi pun tiba. Mereka hanya mengadakan acara ijab kabul saja tanpa resepsi besar. Acara dilakukan di kediaman Bu Yuli. Semua sudah hadir. Bahkan penghulu dari pihak KUA setempat pun telah datang sekitar lima menit yang lalu.

“Maaf, Pak, tunggu sebentar lagi. Anak saya belum datang.”

Bu Yuli sekali lagi meminta waktu pada penghulu yang akan menikahkan. Meranti sudah diberitahu bahwa acara pernikahan kedua ibunya akan digelar hari ini.

Keluarga Pak Hadi—anak-anaknya, lalu adik serta tantenya yang ikut hadir, mulai resah. Rumah kecil itu terlalu pengap. Mereka telah lama menunggu. Bahkan setelah penghulu datang hampir lima belas menit berlalu, Bu Yuli masih terus meminta waktu.

“Yuli, sebaiknya kita laksanakan saja sekarang. Kasihan penghulu dan tamu yang hadir sudah mulai resah,” bisik Pak Hadi pada Bu Yuli.

Harapan akan kedatangan putri semata wayang di hari berharga untuk Bu Yuli, rupanya tak terwujud. Meranti tak menjawab telepon sama sekali. Gadis itu merajuk parah ketika pamit kembali ke Padang, sesaat setelah Pak Hadi pulang—minggu lalu.

*

“Mer, kamu yakin nggak mau pulang?” tanya Putri, sahabat sekaligus teman satu kamar kos di Padang. Mereka tengah libur kuliah dan Meranti tidak pulang, pun Putri.

“Buat apa aku pulang? Aku nggak setuju Mama nikah lagi.”

Meranti yang duduk bersandar sambil menatap keluar jendela kamar, hanya melirik sekilas ke arah Putri di sebelahnya, lalu kembali mengalihkan pandangan ke langit lepas.

“Alasan mamamu tetap menerima lamaran Bapak itu udah bener menurutku, Mer. Yang pentingkan kamunya selamat. Kuliah tetep lanjut. Uang jajan nggak kurang. Lagian, kamu hari-hari di sini, ninggalin mamamu sendirian di kampung. Apa nggak kasihan. Pasti sepi.”

“Aku kasihan. Makanya aku serius kuliah. Aku pengen cepet-cepet tamat, dapat kerja. Terus bisa bawa Mama ikut ke mana pun aku pergi. Nggak perlu nikah lagi. Aku kan udah pernah bilang, anak dari laki-laki itu ada tiga orang. Mamaku pasti bakalan jadi pembantu di rumah mereka. Semewah apa pun, sekaya apa pun, nggak bakalan bisa gantiin posisi Papa buat kami. Papa itu segalanya, Put. Nggak ada laki-laki yang bisa menjadi sosok sebaik Papa, buatku dan juga buat Mama.”

Mata Meranti sudah berkaca-kaca. Entah kenapa ia sangat yakin bahwa pernikahan itu hanya sebagai tameng bagi Pak Hadi untuk mencari pembantu yang diperistri.

“Udahlah, jangan berpikiran negatif dulu, Mer. Kita lihat aja dulu. Siapa tahu apa yang dikatakan Bapak itu bener.”

“Soal apa?” Kali ini Meranti mengalihkan pandangan menatap Putri dengan sorot sedih bercampur marah.

“Jaminan terhadap kalian, kamu dan mamamu.” Putri meragu mengucapkannya. Ia lantas mengusap pundak Meranti. “Mer, itulah gunanya kamu. Kalau sampai bener apa yang kamu khawatirkan terjadi di rumah itu, kamu bisa jadi pembela untuk mamamu. Makanya, jangan kasih peluang buat mereka nyakitin mamamu.”

Lihat selengkapnya