MARAPI

Da Pink
Chapter #6

#6 Dia Meregang Nyawa

Satu bulan sebelum erupsi Gunung Marapi terjadi. Tanggal 3 November 2023.

*

“Ada apa lagi, Meranti?” tanya Bu Yuli kepada anaknya dari sambungan telepon. Seolah enggan dan tidak mau dihubungi.

“Mera udah kelar kompre, Ma.” Gadis itu memberitahu, meski selesai komprenya sudah cukup lama—dua minggu lalu.

“Trus, kamu mau apa? Uang? Nanti Mama kirimkan.”

Meranti menghela napas pelan. Ia menggeleng lemah di kamar kos. “Mera pengen pulang, ketemu sama Mama.”

“Nggak usah. Di kos aja. Di rumah ada Papi dan adik-adik tirimu. Kamu nggak bisa berteman sama mereka. Bawaannya marah aja,” ucap Bu Yuli melarang.

“Mera cuma kangen sama Mama.”

“Jangan manja, Mera! Kamu nggak bisa pulang ke rumah ini. Paham! Ini rumah Papi kamu. Kamu nggak ada hak sama sekali.”

Ucapan Bu Yuli begitu melukai perasaan Meranti. Setelah papanya meninggal dunia tiga tahun silam, setahun kemudian Bu Yuli dipersunting duda kaya dan memboyong tinggal di rumah mereka. Lelaki yang memiliki tiga orang anak dengan kisaran usia, tujuh belas tahun paling besar, bernama Debi, lima belas tahun bernama Defano dan paling kecil usia sepuluh tahun bernama Danisa, begitu menguasai Bu Yuli.

“Mera nggak manja. Mera cuma merasa ….” Sambungan telepon diputus sepihak oleh sang ibu. “Sendirian, Ma,” ucapnya pelan sambil meneteskan air mata.

Gadis itu kemudian merebahkan tubuh di atas kasur, di kamar kos yang disewa berdua dengan Putri—sahabat karib yang satu jurusan dengannya dan sudah sama-sama selesai kompre. Saat ini Putri tengah berada di kampus. Ada rapat dengan klub pencinta alam yang diikuti.

“Pa … coba pas Papa pergi ngajak Mera. Pasti rasanya nggak akan sesepi ini hidup sendiri. Mama terlalu sibuk dengan keluarga barunya. Dia sampai lupa kalau masih ada anak kandung yang perlu diperhatikan.” Meranti membuka galeri foto di ponsel, lalu menatap lama pada gambar sang ayah yang tak pernah menatap kamera saat di potret.

“Tapi nggak apa-apa, Pa. Nanti, kalau Mera udah nggak ada, Mama juga bakalan merasa kehilangan. Ya ‘kan, Pa?”

Gadis itu memejam. Bulir air mata terus menetes membasahi bantal yang menjadi alas kepala.

Tak lama, ponsel itu berdering. Ada panggilan masuk dari Mario, sahabat dekat yang juga satu jurusan bahkan satu kelas di kampus.

“Kamu ke mana? Aku pikir tadi sama Putri di kampus.”

“Nggak. Aku di kos.”

“Oh, ngapain? Nggak mau keluar? Kan udah kelar kompre, tinggal nunggu wisuda. Aku malah gagal, skripsi belum kelar. Haha.”

Suara riang Mario sedikit banyak telah berhasil mengusir gulana dalam hati Meranti. Ia menghapus air mata, lalu bangkit.

“Mau. Kamu ngajakin?”

Lihat selengkapnya