MARAPI

Da Pink
Chapter #7

#7 Bunuh Diri

“Ini, minum dulu.”

Mario memberikan botol mineral yang tadi dibeli sebelum sampai di Pantai Padang. Mereka duduk di taman groin yang menjorok ke laut—di posisi paling ujung. Rambut panjang Meranti yang diikat kuncir kuda diterbangkan oleh angin pantai. Sedangkan Mario duduk di sebelahnya sambil terus memerhatikan gadis yang tengah meneguk mineral yang tadi diberikan.

“Mama … tadi aku nelepon Mama, Mar.”

Meranti mulai buka suara. Ia baru saja melihat chat yang dikirimkan oleh ibunya. Hanya berupa tangkapan layar m-banking, sebagai bukti jika sudah mentransfer uang untuk Meranti. Namun, bukan ini yang dibutuhkan gadis itu.

“Mama bilang apa?” tanya Mario sambil mengembuskan napas berat. Ia pun sudah banyak mendengar kisah pilu yang dialami oleh Meranti terkait sang mama.

“Seperti biasa. Aku belum kelar ngomong, telepon udah dimatikan.”

Pemuda di sebelah bergeming. Ia lantas memasukkan gerombolan air sehat ke dalam mulut.

“Mar, menurut kamu, aku ini manja nggak?”

Meranti menoleh tiba-tiba, membuat Mario tersedak. Ia terbatuk kecil, lalu menghapus sisa air yang sempat bermuncratan dari mulut.

“Ngapain nanya hal kayak gitu?”

“Menurut kamu aku ini manja, nggak? Jawab aja kenapa?”

“Hal kayak gitu nggak perlu ditanyakan karena fakta,” jawab Mario sembari memutar tutup botol, lalu meletakkan di sebelah kirinya.

“Jadi, apa yang dibilang beneran, ya, kalau aku ini anak manja.”

Tiba-tiba suara Meranti memelan, nyaris tenggelam tertimpa desau angin yang berembus, pun deburan ombak yang memecah di tepian.

“Eh, apa? Kamu ngomong apa? Di pantai nggak boleh bisik-bisik. Nggak kedengeran.”

Gadis yang ditanya menghela napas dalam, lalu menoleh lagi ke arah Mario sambil menggeleng. “Nggak ada. Capek aku ngomong sama orang budek kayak kamu.”

“Enak aja bilang budek. Ini pantai coy, malah kamu ngajak ke ujung sini lagi. Ya, parah pendengaran jadinya. Makanya nggak usah bisik-bisik.”

Meranti menatap pemuda yang selalu setia hadir menemaninya dalam kegundahan, lalu tersenyum kecil. Mario yang mengetahui menautkan alis. Sebelah tangannya meraba dahi gadis di samping.

“Apaan, sih?”

Tangan kanan Meranti sigap menyingkirkan jemari sahabatnya dari dahi—terlalu menyebalkan. Padahal ia tengah ingin merasa bersyukur dengan kehadiran Mario di sisi.

“Ya abisnya, kamu itu aneh, nggak ketebak. Sebentar sedih, ketakutan. Trus sebentar senyum-senyum nggak jelas. Sama kayak alam ini. Nggak bisa ketebak maunya gimana.”

Meranti mengalihkan pandangan ke laut lepas. Ia menghirup oksigen sedalam-dalamnya.

“Makasih, ya, Marimar. Kamu selalu ada buat aku di saat yang tepat,” teriak gadis itu kemudian.

Lihat selengkapnya