MARAPI

Da Pink
Chapter #9

#9 Hati Yang Terluka

“Kamu mau ke mana, Mer?” tanya Putri yang tengah bersiap-siap hendak pergi ke kampus. Ia masih ikut rapat dengan kelompok Mapala di kampus. Mereka berencana akan pergi mendaki awal bulan depan—sebagai perpisahan dengan angkatan Putri, Dika dan lain-lain yang selesai kuliah tahun ini.

“Aku mau pulkam, Put,” jawab gadis itu murung.

Dahi Putri mengernyit. Permasalahan dengan sang ibu, Meranti menceritakannya juga kepada sahabat sekaligus teman satu kamarnya itu. “Disuruh Mama?” tanyanya memastikan.

Meranti menggeleng.

“Terus, ngapain pulang, Mer?”

“Aku cuma kangen, pengen liat Mama. Perasaanku nggak enak. Siapa tahu ini pertemuan buat terakhir kali sama Mama.”

“Astaghfirullah, ngucap kamu, Mer. Nggak boleh ngomong kayak gitu.”

Meranti mengulum senyum sambil menunduk. Ia pura-pura memegang HP. Tas ransel yang berisi dua potong baju sudah teronggok rapi di hadapan. Hal inilah yang tak pernah diketahui oleh Putri. Seringnya Meranti mengatakan hal buruk seperti itu. Dan Mario sudah hampir muak dengan kata-kata 'aku mau mati’ dari mulut Meranti.

“Ke kampus aja, yok, ikut sama aku. Dika kirim salam sama kamu. Ketua Mapala. Dia udah lama naksir sama kamu. Kemarin dia cerita ke aku. Pengen ketemu sama kamu.”

Putri menjadikan kabar tentang Dika sebagai pengalih pikiran Meranti yang tengah kacau. Beberapa kali, Meranti pernah bicara tentang kekerenan Dika saat iseng menemani Putri ke basecamp Mapala di kampus, walau ia tak tergabung di dalamnya. Hal tersebut dijadikan landasan bagi Putri, menyimpulkan jika sahabatnya itu juga diam-diam menyukai Dika.

Hanya saja, nama Dika pun tak dapat membuat Meranti berubah pikiran.

“Aku pengen ketemu Mama aja. Kalau nggak dibolehin tidur di rumah suaminya, aku masih pegang kunci rumah pemberian Papa. Aku bisa tidur di sana.”

“Sendirian? Nggak, Mer. Kamu entar kenapa-napa.”

Kekhawatiran Putri tiba-tiba mencuat. Sebab, setelah teleponan dengan Mario melalui ponsel Meranti semalam, ia langsung dikirimkan chat panjang oleh Mario—memberitahu apa yang perlu dicemaskan, sehingga ia meminta Putri untuk mengawasi Meranti.

“Aku nggak apa-apa, kok, Put. Kamu nggak usah cemas. Aku berangkat dulu, ya. Perjalananku jauh soalnya." Meranti beranjak berdiri. Namun, tangannya ditahan Putri yang pias.

Lihat selengkapnya