MARAPI

Da Pink
Chapter #10

#10 Pertama Dan Terakhir

“Mama udah bilang, nggak usah ke sini segala.”

Pasangan ibu dan anak itu kini duduk di teras. Bu Yuli meminta waktu kepada suaminya untuk bicara pada Meranti, sebentar.

Meranti menunduk sejenak. Pandangan matanya meniti jemari yang bertaut.

“Udah sepuluh bulan Mera nggak pulang. Mera pengen ketemu sama Mama,” ucapnya pelan.

“Mama udah pernah bilang, nggak usah manja. Kamu itu udah gede. Udah dua puluh dua tahun Mera. Yang penting, uang kamu cukup. Udah. Jangan banyak drama pengen ketemu Mama atau apalah.”

Gadis di sebelah menghela napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Langit sudah berangsur teduh. Sebentar lagi mentari beringsut menuju ufuk barat. Sudah sore.

“Iya, Ma,” jawabnya singkat. Tanda-tanda akan dipeluk pun tidak ada. Meranti melirik jemari Bu Yuli yang memegang gagang kursi. Ia ingin cepat-cepat merasakan hangatnya tangan itu. “Mera pulang dulu, Ma.”

“Pulang ke mana? Balik ke kos aja, ya. Nggak usah di rumah. Nggak ada orang. Lagian di sana sepi. Jam segini masih ada bus yang berangkat ke Padang.”

Bu Yuli menoleh, menatap putrinya lamat.

“Di kos juga sepi. Ada yang bunuh diri.”

Perempuan yang telah melahirkan Meranti, terperanjat. Tidak menduga hal semacam itu dilakukan oleh seseorang. Ia tak mendapatkan informasi sama sekali. Untuk melihat-lihat sosial media saja kadang tidak sempat. Rehat sejenak untuk tidur, setelah suami dan anak-anak tirinya berangkat sekolah. Lalu, bersiap membereskan rumah—memasak, mencuci baju, mencuci piring dan lain-lain. Ia harus memastikan rumah dalam keadaan rapi dan makanan sudah terhidang saat suaminya pulang kerja, seperti sekarang.

“Kamu nginep aja di kos temanmu dulu kalau takut balik ke kos.”

Meranti menggeleng. “Nggak ada yang Mera takutin, Ma.” Meranti lantas menjulurkan tangan, hendak bersalaman—pamit pergi.

“Mera … Seharusnya kamu dengerin apa yang Mama katakan. Nggak usah pulang.”

“Mera juga udah bilang, kalau Mera kangen sama Mama. Mera pengen lihat Mama langsung. Sehat apa nggak. Tapi kayaknya semua baik-baik aja. Itu udah cukup. Mera pergi, Ma.”

Gadis itu mencium punggung tangan ibunya, sedikit lebih lama. Lalu segera berbalik demi menghindarkan tangkapan mata sang ibu dari air mata yang jatuh di pipinya.

Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Bu Yuli, selain membiarkan Meranti melangkah sendiri, saat ini. Pilihan hidup yang cukup sulit. Namun, kalau tidak begini, belum tentu juga darah dagingnya bisa menyelesaikan kuliah seperti sekarang.

Saat sampai di pagar, Meranti menahan langkah. Ia benar-benar menyudahi tangis kesedihan. Tak pula ingin berbalik. Semua telah tertinggal di sini. Ia takkan pernah mau kembali lagi. Mungkin yang dikatakan Mama benar. Sebaiknya, dia tidak pernah datang. Esok dan seterusnya.

“Mer.”

Suara yang sangat dikenali, mengejutkan gadis itu setelah menutup lagi pagar tinggi rumah suami ibunya.

Lihat selengkapnya