MARAPI

Da Pink
Chapter #11

#11. Takut Kehilangan

Suasana kos makin sepi. Satu per satu anak-anak sudah pindah tempat tinggal. Ibu kos tak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak menampik, beberapa kali mendengar tangisan di malam hari, di bangunan kos yang kini sudah tak berpenghuni.

Hanya tinggal Putri dan Meranti yang bertahan. Cuma butuh satu minggu dari kejadian bunuh diri Ella, usaha Ibu kos hancur sudah. Ia jadi sering uring-uringan sendiri. Kadang menangis dalam diam sambil menatap ke teras belakang, yang dulu ramai oleh suara tawa dan candaan anak-anak.

Kini, yang tersisa hanya puing kenangan. Sesekali, entah halusinasi, Ibu kos sungguh mendengar tangisan Ella ketika ia terbangun di tengah malam. Anehnya, Bapak kos mengaku tidak mendengar apa-apa. Meranti dan Putri pun sama. Padahal kamar mereka hanya berbatas dinding saja.

“Kita hancurkan saja bangunan kosnya terlebih dahulu. Abang ‘kan masih kerja. Kamu juga nggak sendirian. Ada Meranti dan Putri yang tetap tinggal.”

Bapak kos mengatakan hal ini kepada istrinya, kemarin malam. Meranti dan Putri mendengar. Mereka kasihan sebenarnya. Kos-kosan ini adalah tempat paling murah dan selalu ramai. Entah kenapa Ella tega melakukan hal tersebut di sini? Secara tidak langsung, mendiang Ella sudah mematikan pula rezeki Ibu kosnya sendiri.

Meranti kali ini ikut ke kampus. Putri dengan kegiatan di BC Mapala, sementara ia memilih duduk di taman sambil menikmati kesendirian. Sahabatnya itu berjanji hanya sebentar di basecamp. Ada yang perlu diurus, mengingat Putri adalah seksi Humas yang cukup penting di dalam struktur organisasi mereka.

Mario juga tengah bimbingan siang ini. Ia belum bisa mengajak Meranti ke kampung halaman, sebab, masih banyak yang perlu direvisi dalam skripsinya. Dosen pembimbing sampai gregetan sendiri kalau pemuda itu sudah masuk jadwal bimbingan dengannya.

“Kak Mer. Sendirian aja?” sapa Tika yang tiba-tiba muncul.

“Iya,” jawab Meranti biasa saja. Ia memang tak terlalu akrab dengan Tika, sebab, selain tak pernah satu kelas, tahun tingkatan mereka juga tidak sama.

Sedangkan dengan Mario, beberapa kali Tika pernah sekelas ketika pemuda itu mengulang mata kuliah.

“Kenapa nggak sama Bang Mario?”

Meranti menoleh sambil menatap Tika dengan dahi bertaut. “Kenapa nanyanya gitu?”

“Nggak. Kan, di mana ada Kak Mera, di situ pasti ada Bang Mario,” jawab gadis berambut panjang itu sambil tersenyum tipis.

“Oh, iya. Bentar lagi juga datang. Udah janjian soalnya. Dia lagi bimbingan. Kamu nggak tahu?”

Meranti iseng. Dia memang tahu kalau hari ini jadwal bimbingan Mario, tetapi dia sama sekali tidak janjian untuk bertemu dengan pemuda itu. Hanya saja, melihat bagaimana Tika berhadapan dengannya, membuat Meranti jadi ingin mengusik sedikit.

Kejahilannya berbuah manis. Ekspresi wajah Tika berubah. Seolah tidak senang dengan kedekatan yang terjadi antara Mario dan Meranti.

“Kamu ada janji juga sama Mario?”

Tika menggeleng. “Enggak. Dia kan janjian sama Kak Mera. Nggak mungkin, dong, janjian sama aku juga.”

“Ya, kalau kamu emang ada perlu sama dia, nggak apa-apa.”

Tika bergeming. Ia menatap lurus ke depan. Dari matanya seolah hendak mengatakan sesuatu. Namun, masih berpikir.

Meranti tahu, tapi ia tak peduli.

“Kak, aku boleh nanya sesuatu, nggak?” Akhirnya Tika bersuara dan langsung dibalas anggukan oleh Meranti.

Lihat selengkapnya