Saat sampai di kos tersebut, Keysha langsung menyambut Meranti dan Putri dengan semringah. Kesan pertama bagi Putri saat berada di kawasan kos itu, biasa saja. Cuma, arsitektur rumahnya yang agak mewah. Ada taman lengkap dengan bangku dan lampu bundar, saat masuk tadi. Tak lupa air mancur yang bunyi gemericiknya menenangkan. Lanjut ke dalam, seperti rumah biasa. Tapi isinya kamar kos semua. Sudah dilengkapi dengan ruang tamu, ruang belajar, ruang santai, meja makan, dapur dan kamar mandi, di lantai satu.
Bagian lantai dua, kamar-kamar kos yang komplit dengan pendingin ruangan, lemari, tempat tidur beserta kasur jenis busa dengan tebal 25 sentimeter. Kamarnya lebih luas dari kos lama, dapat diisi hingga tiga orang. Namun, pemilik tidak membenarkan hal tersebut. Rata-rata maksimal diisi oleh dua orang. Ada pilihannya juga. Jenis VIP atau biasa. VIP ruangannya hanya boleh diisi oleh satu orang plus kamar mandi di dalam.
Keysha kebetulan mendapat jenis VIP. Sebab, hanya kamar itu yang tersedia. Bayarnya sebulan, bisa sampai satu juta lebih.
“Ya, mau gimana lagi. Papa bilang nggak apa-apa. Cuma itu, uang jajanku dipotong. Kalau di kos lama kan bisa buat tabungan lebihnya. Pas di kos ini, nggak.”
Keysha tertawa. Dia merupakan salah satu anak pengusaha yang sebenarnya tidak masalah dengan angka-angka, demi kenyamanan putri mereka. Hanya saja, pribadi Keysha tak terlalu parlente. Ia lebih senang menjadi biasa-biasa saja seperti Putri dan Meranti.
Mereka sebenarnya tidak terlalu akrab. Hanya saja, karena Putri dan Meranti telah baik memberi tumpangan hampir tiga hari ketika itu, sehingga ia pun ingat untuk mengajak dua temannya melihat-lihat kosnya sekarang.
“Di sini, VIP ada tiga kamar. Total semua ada dua puluh kamar kalau nggak salah. Ini kan sampai tingkat tiga. VIP di tingkat dua. Rata-rata, emang anak-anak orang kaya aja yang isi. Lihat lapangan di sebelah, yang penuh sama mobil. Itu rata-rata milik mereka. Semuanya pake kendaraan sendiri. Ada motor juga, sih.”
Keysha menunjuk ke arah jendela kamar yang langsung mengarah ke parkiran mobil khusus penyewa kos di rumah ini.
“Nggak ada ibu kosnya?”
Keysha menggeleng menjawab pertanyaan Putri. “Nggak di rumah ini, tapi tepat di rumah depan.”
“Yang tadi kita lewati? Yang gede itu? Arsitekturnya hampir mirip?” tanya Putri lagi memastikan.
“Iya. Di sana. Mirip banget, kan. Namanya juga dia yang punya.”
“Kaya banget berarti, ya?”
Keysha kembali mengangguk. “Banget. Yang punya pemilik salah satu swalayan di kota ini.”
Mulut Putri membulat takjub. “Pantaslah, ya.”
“Eh, ini makannya entar lagi, ya. Sebenernya, ada anak baru juga yang mau kasih kita makanan. Katanya keluarganya mau datang lagi. Bawa banyak sambal rumah. Pembantunya yang bikin. Masakannya enak-enak semua.”
“Aelah. Nggak apa-apa kita ikutan?”
“Ya, nggak apa-apa, Put. Aku juga udah beliin pizza dua kotak. Makanan dari anak baru itu entar, kita nyicip aja.”
“Ih, nggak enak ah. Kita makan pizzanya aja, ya, Mer.”
Putri menoleh pada Meranti yang sejak tadi hanya diam. Duduk di kursi meja belajar sambil menatap jauh keluar jendela. Ia menatap siluet gunung dari sini. Entah gunung apa itu namanya.
“Hem, ya. Pizza aja, deh,” jawab gadis itu masih bisa nyambung dengan pertanyaan Putri.
“Ya udah. Kalau gitu, kita makan sekarang aja.”