“Tunggu!” sentak Meranti tanpa memikirkan apa pun lagi. Ia hanya peduli kepada ibunya saja. Tujuan saat ini ingin bicara pada sang ayah tiri, jika selama ini Debi telah menghina Bu Yuli.
Debi, adik-adik, ayahnya dan Bu Yuli sendiri menoleh ke belakang. Beberapa anak kos yang berada di rumah itu, ikut memberikan atensi. Mereka tidak mengenal Meranti, tetapi sikap gadis itu bringas sekali saat menarik bahu Debi dengan kasar.
“Meranti, apa-apaan kamu?” Bu Yuli cepat meletakkan rantang di lantai, lalu menarik tangan anaknya agar menjauh dari Debi. “Jangan buat malu di sini!”
Namun, Meranti tidak peduli. Ia terus menyorot Debi dengan marah, bergantian pada sang ayah tiri.
“Om tahu apa yang dikatakan Debi ketika itu kenapa aku sampai berani membenturkan kepalanya ke dinding?”
Ucapan Meranti membuat ayah tirinya mengernyitkan dahi. Lelaki itu menatap Bu Yuli yang terus membujuk agar putrinya tidak mengatakan apa pun.
“Dia bilang kalau mamaku adalah pembantu di rumah kalian. Kami nggak pantes bergabung sama keluarga kalian. Kami nggak layak tinggal di istana kalian. Dan yang membuatku paling sakit hati adalah, ketika dia bilang kalau mamaku hanyalah sampah yang tak selevel dengan mendiang maminya. Menurut Om, sebagai seorang anak apakah aku harus diam di saat ibuku dihina begitu? Belum lagi di kos ini dia masih mengakui pada semua kalau ibuku hanyalah sebatas pembantu!”
Deru napas Meranti memburu. Ia benar-benar meluahkan segala sakit yang dirasakan selama ini.
“Memang dasar nggak punya otak! Nggak punya hati! Nggak tahu terima kasih …!”
Ucapan itu terhenti diiringi dengan hening setelah suara tamparan keras terdengar memenuhi udara.
Bu Yuli tega memukul darah dagingnya sendiri hanya karena gadis itu mengatakan kejujuran di hadapan semua.
Putri mendekat, lalu memegang lengan sahabatnya. Takut terjadi sesuatu yang lebih sakit lagi dari ini. Ia pun menarik sedikit menjauh. Keysha tak mampu berkata apa-apa. Ternyata inilah alasannya mengapa Meranti begitu marah saat diceritakannya tentang sosok yang dibilang pembantu oleh Debi.
“Berhenti Meranti! Kamu nggak usah bicara apa-apa lagi!”
Meranti menunduk sambil memegang pipinya di bekas tamparan. Ia menyembunyikan luka sembari Putri menariknya keluar dari rumah itu.
“Maafkan kami Tante, Om, dan semua.” Begitulah ucapan Putri sebelum beranjak pergi. Sedangkan Meranti tak berujar sepatah kata pun.
“Mer ….”
Belum sempat Putri melanjutkan ucapan. Meranti sudah menangis terisak ketika mereka telah berada di jalan utama menuju kosan. Lalu lalang kendaraan sudah ramai di dua jalur. Meranti melepaskan tangannya dari genggaman Putri, lalu berjongkok di tepi jalan sambil menyembunyikan wajah pada lipatan lengan dan lutut.
“Sakit banget! Sakit! Mama jahat!”