Selepas salat Magrib, Mario membawa Meranti duduk di tepi teluk bayur. Memandang kerlap-kerlip lampu pelabuhan beserta kapal yang seolah terdampar di perairan tenang itu. Mereka duduk di pembatas jalan. Sejak sampai hingga sepuluh menit berlalu, keduanya diliputi hening tanpa ada satu orang pun yang bicara.
Mario kehilangan bahan untuk mengobrol. Manik matanya hanya sibuk menatap indahnya Meranti yang tergambar bak siluet cantik dari arah ia memandang. Sementara gadis yang ditatap, terus merenung, merasakan perihnya tamparan sang mama serta rangkuman seluruh sakit dari perbuatan ibunya sejak ayah tiada.
“Aku harap, ini pertama dan terakhir kalinya Mama memukulku.”
Meranti akhirnya bersuara. Ia tak kuasa berdiam terlalu lama. Sapuan angin laut menerpa wajah dan menerbangkan anak-anak rambut. Sedangkan Mario, masih bergeming. Kata ‘pertama dan terakhir’ bak gelegar yang membuatnya terdiam membisu. Seolah ada bius dari dua kata yang saling berseberangan itu.
“Padahal, aku cuma pengen bela Mama di depan semua orang. Tapi Mama malah memihak sama mereka yang nggak menghargai kehadirannya. Apa semudah itu menyampakkan darah daging sendiri demi anak orang lain yang kurang ajar kayak mereka?”
Meranti menoleh. Meminta jawaban dari Mario atas tanya yang mungkin hanya Bu Yuli yang mengetahui jawaban pasti.
“Mer, mungkin sebaiknya kamu emang harus lebih mikirin diri kamu sendiri. Mama kamu udah menemukan kebahagiaannya. Semestinya kamu pun harus melakukan hal yang sama. Temukan juga kebahagiaanmu sendiri.”
“Dengan apa? Kamu nggak pernah ngerasa jadi aku, Mar. Nggak tahu gimana rasanya tinggal sendirian kayak gini. Meski aku punya kalian, sahabat-sahabat yang selalu ada buat aku. Tapi sebagai anak yang ibunya pun masih hidup, aku pengen juga ngerasain jadi kalian. Bisa pulang kampung, trus ngobrol sama Mama seperti kalian. Ini udah nggak berlaku lagi buat aku. Sejak aku jadi yatim, otomatis aku pun jadi piatu. Hidup sebatang kara itu nggak enak, Mar. Nggak enak.”
Meranti nyaris kehilangan suara di akhir kalimat. Ia sedu sedan. Lalu memalingkan wajah sambil menyeka air mata dengan punggung tangan. Bicara seperti ini kepada seseorang rasanya sesak. Benar-benar menyesakkan. Mario yang mendengar pun juga tak kalah parah. Ia bisa merasakan bagaimana hampanya hidup yang dijalani Meranti. Dan sekarang, semua menjadi sesal untuk pemuda itu. Seandainya ia bisa mengejar untuk menyelesaikan skripsi di tahun ini juga, lalu bekerja dengan keras membangun masa depan sendiri. Otomatis ia jadi mampu bersuara lantang di hadapan keluarga, jika apa pun yang terjadi, pilihan hatinya tetaplah Meranti.
Entah strata jenis apa yang masih dipertahankan oleh keluarganya. Sehingga, menentang saat tahu bahwa Mario dekat dengan seorang gadis dari pesisir pantai. Yang menurut orang-orang dari dataran tinggi, merupakan sosok yang tidak baik untuk dijadikan istri, sebab kerap bersuara keras, meninggi dan cenderung mengatur pasangan dengan ketat. Padahal, semua itu hanyalah pandangan yang belum tentu benar, sebab tak berdasar. Sikap dan prilaku seseorang, tergantung dari pribadi, bukan daerah asal-usul.
“Aku minta maaf, Mer. Aku tahu kebisaanku cuma membual aja. Aku nggak pernah berada di posisi kamu. Tapi yang perlu kamu ketahui, Mer. Aku akan selalu ada buat kamu. Aku akan selalu melindungi kamu. Sesempit apa pun waktu yang kupunya, jika kamu meminta untuk datang, aku pasti akan upayakan semaksimal mungkin buat temuin kamu.”
Mario bersunggung-sungguh. Ia menarik jemari Meranti, lalu menggenggamnya. Seketika itu juga gadis tersebut melepaskan.
“Jangan pernah katakan atau lakukan sesuatu yang kamu sendiri nggak bisa memastikan semua itu benar akan terlaksana atau nggak.”
Mario mengernyitkan dahi mendengar ucapan Meranti barusan.