Gunung Marapi dan Singgalang tampak gagah dilihat dari Kota Bukittinggi. Ditambah cuaca cerah meski telah sore. Meranti masih duduk di Taman Jam Gadang. Ia menatap lama ke arah puncak Marapi. Gadis itu membayangkan dirinya bisa berada di sana suatu saat. Tiba-tiba saja terpikir keinginan tersebut.
Meranti masih mengamati sekitar tanpa peduli dengan ponselnya yang sejak tadi berdenting. Tidak seperti orang lain pada umumnya, ia memilih tak fokus pada gawai. Ia hanya sedang menatap kehidupan nyata di pelupuk mata. Bukan dunia maya yang penuh dengan tipu daya.
Seorang pedagang kerupuk kuah duduk di pinggaran taman. Meranti melihatnya. Lalu berjalan mendekat. Tak ada yang mampir ke lapak jualan ibu itu. Mungkin belum. Dan gadis itu memilih menjadi yang pertama belanja.
“Bu, kerupuknya satu,” ucap Meranti ikut duduk di dekat Ibu penjual kerupuk kuah.
“Iya, sebentar, ya. Mau kuahnya sate atau cabe merah?”
“Campur aja, Bu.”
“Pakai mi?”
“Iya.”
Ibu penjual kerupuk kuah cekatan mengambilkan pesanan pembelinya. Tak lupa bihun jagung dibubuhkan di atas kerupuk singkong yang lebar serta sudah diolah sedemikian rupa, yang sebelumnya telah diolesi kuah sate Padang berwarna kekuningan dicampur dengan kuah cabe merah. Nikmat sekali.
Meranti meraih kerupuk pesanannya, lalu memakan di tempat itu juga. Tak lama, anak-anak kisaran sepuluh tahun, datang bertiga orang, membeli kerupuk yang sama dengannya. Bedanya, setelah mendapat yang diinginkan lalu membayar, anak-anak itu kembali pada orangtuanya yang menunggu tak jauh dari sana.
“Enak banget, ya, Bu,” ucap Meranti, memesan satu lagi. Ia tidak lapar, hanya sedang ingin makan saja.
“Wah, sendirian aja, Nak?” tanya Ibu penjual kerupuk sembari memberikan kerupuk kedua yang dipesan Meranti.
“Sekarang iya, Bu. Tadi sama temen. Tapi dia ada urusan sebentar pulang ke rumahnya.”
“Oh, syukurlah. Dari mana, Nak?”
“Hem, dari Padang, Bu.”
“Temannya orang sini?”
Meranti mengangguk.