MARAPI

Da Pink
Chapter #20

#20. Memutuskan Ikut Mendaki

Tanpa persetujuan dari Meranti, Putri mengarahkan layar ponsel ke gadis yang tengah sedu sedan. Ia pun berpindah ke sisi sahabatnya, sehingga mereka bisa melakukan sambungan video bertiga.

Meranti menunduk menahan pilu hati. Ia tak sanggup mengangkat wajah, menatap Mario yang memperhatikan penuh empati dari balik layar.

“Mer, kamu bisa cerita sama aku sekarang. Apa yang terjadi tadi?” tanya Mario dengan pelan. Ia tak bisa mendengarkan isak Meranti yang seperti sekarang. Kasihan sekali. Sungguh. Jika diperbolehkan, ia ingin sekali kembali ke kos itu lalu memeluk gadis tersebut dengan erat. Ia rela menjadi tempat Meranti meluapkan emosi asalkan sahabatnya baik-baik saja setelah itu.

“Mera.” Putri mengusap pundak Meranti dengan lembut. Ia pun tak bisa menahan tetesan air mata. “Aku tahu rasanya pasti sakit. Di saat kamu sendirian berjuang seperti ini. Ketika kamu melawan semua orang hanya demi membela mama kamu. Ternyata di belakang kamu, mereka hidup bahagia.”

Putri mengangkat kelopak mata menatap layar HP. Mario masih mendengarkan. Lelaki itu belum sempat beranjak ke dalam kosan. Masih duduk di teras.

“Mar, jadi tadi di jam gadang. Meranti ngeliat mamanya dan keluarga barunya lagi jalan-jalan bersama. Aku bingung gimana cara ngomongnya. Cuma intinya Meranti ngerasa sendiri. Ngerasa kalau dia itu dibuang. Aku ….”

Putri membenamkan wajah ke pundak Meranti yang masih bergetar menahan luka hati. Gadis itu tidak tahan membayangkannya. Kasihan sekali Meranti.

Sementara Mario terus menatap Meranti lekat-lekat. Matanya pun sudah menghangat. Hari ini, ia pikir gadis itu bisa berbahagia karena bepergian sejauh itu dengannya. Namun, rupanya ada-ada saja yang terjadi. Dirinya yang dipaksa pulang ke rumah dan harus meninggalkan Meranti di Jam Gadang, yang ternyata justru menemukan kesakitan yang lain.

“Mera, maafin aku, ya. Seharusnya kita nggak usah ke sana. Kalau aku tahu akan kayak gini kejadiannya. Aku nggak bakalan ngajakin kamu ke Bukittinggi. Sungguh.”

“Aku nggak apa-apa, Mar. Makasih udah mau kasih aku kebahagiaan yang nggak akan pernah lagi aku dapatkan,” ucap Meranti dengan suara serak. Perlahan diangkatnya wajah. Mata itu sudah bengkak. Ia tak menatap langsung ke layar ponsel. Hanya ingin memperlihatkan kepada Mario, jika saat ini ia benar-benar sedang hancur sekali.

“Tapi kamu harus bisa melupakan semua itu dengan segera, Mer. Jangan dipendam terlalu lama. Bisa ‘kan? Aku takut nanti kamu jadi sakit.”

Meranti mengangguk. “Aku bakalan dengerin apa yang kamu katakan. Aku masih punya kalian. Seenggaknya, waktu kita masih banyak buat bersama sebelum kalian pergi menjalankan kehidupan masing-masing.”

Putri langsung menggeleng. Dipeluknya Meranti lebih erat. “Mer, jangan ngomong gitu. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Aku bakalan mastiin kamu bahagia dulu, baru setelah itu aku mikirin diriku sendiri.”

Sedangkan Mario tidak menjawab. Kebahagiaan Meranti adalah mimpinya yang harus cepat diwujudkan.

“Makasih. Aku sayang sama kalian. Aku nggak tahu gimana hidupku kalau kalian nggak ada buat aku.”

Meranti memangku lengan Putri yang memeluk tubuhnya. Ia pun akhirnya menatap layar ponsel dan melihat Mario tengah menunduk sambil menyeka sudut-sudut mata.

“Kalau aku nggak ada, kalian janji harus hidup bahagia. Dan jangan pernah lupakan aku.”

Lihat selengkapnya