“Mer, coba kamu pikirkan lagi. Kalau aku nggak ada, siapa yang bakalan jagain kamu saat mendaki. Kamu belum pernah sekalipun ke gunung.”
Mario masih membahas masalah ini sampai di kos Meranti. Ada Putri juga di antara mereka.
“Kan ada aku, Mar. Lagian Dika juga pasti jagain Mera, kok. Kan dia ketua rombongan.”
Ucapan Putri mendapat decak sebal dari Mario. Justru karena ada Dika menjadi penyebab kedua kenapa Mario sampai keberatan jika Meranti pergi mendaki tanpa dirinya.
“Meranti butuh dijagain sama orang yang deket dan lebih kompeten. Nggak kayak kamu, apalagi Dika.”
“Dih. Soal kompeten, lebihan Dika dari kamu kali, Mar.”
Putri terus membalas ucapan Mario. Sedangkan Meranti masih bergeming. Belum ada tanggapan sejak tadi. Pikirannya melayang justru ke sang ibu.
“Kamu itu nggak ngerti maksud aku, Put. Kompeten di sini tu, lebih ke … duh, susah juga gimana menggambarkannya.”
“Nggak usah digambarkan segala, Mar. Jelasin aja. Maksud kamu itu gimana emangnya?”
Di saat Mario menggaruk kepala belakang saking gregetannya dengan Putri yang terus membantah dirinya, Meranti malah memberi jawaban yang membuatnya kian ternganga.
“Aku bisa, kok, jaga diri sendiri. Lagian, kamu bilang, di atas sana itu indah banget. Aku juga pengen liat. Bosan, mandangin laut mulu. Sekali-sekali nyoba ke gunung jugalah. Kayak kalian.”
Meranti menatap dua sahabatnya secara bergantian. Putri dengan senyum lebarnya. Mario dengan wajah piasnya.
“Next pendakian aja, ya, Mer. Janji, deh, aku bakalan ajak kamu. Lagian, Marapi itu buka terus tiap minggu.”
Meranti menggeleng. Ia tersenyum menatap pemuda yang begitu peduli terhadapnya.
“Nggak. Aku pengen yang sekarang. Mumpung semangatnya ada. Kamu nggak usah khawatir. Ada Putri dan yang lainnya juga. Entar aku bakalan kabarin kamu.”