“Nanti kita akan berenti dulu di Pasanggrahan. Silakan isi tabung air masing-masing. Karena setelah ini perjalanan kita nggak akan ada jeda dan nggak ada sumber mata air lagi,” ucap Dika mengomando. Sembilan orang lainnya mengangguk.
Langkah demi langkah telah dijejakkan dalam setiap jengkal perjalanan menuju Puncak Merpati. Di mana setiap tujuan pendakian, pasti akan berakhir di sana. Banyak hal yang biasanya dilakukan, termasuk mengibarkan bendera merah putih. Berfoto. Menatap indahnya ciptaan Tuhan dari ketinggian. Menyukuri kebesaran Allah yang memang tiada tandingannya. Pun seperti tujuan Meranti kali ini, ia telah menulis sesuatu di secarik kertas yang akan di fotonya saat berada di puncak gunung. Pesan untuk Mario. Hanya pemuda itu yang teringat dan perlu diberikan sesuatu yang berkesan.
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam setengah—mulai dari pos registrasi, menuju pos satu, lalu melewati pos BKSDA; salah satu area camp, mereka sampai di Pasanggrahan atau pintu rimba. Bertepatan dengan baru beranjaknya survival dari grup lain. Mereka saling menyapa sejenak, lalu grup yang sejak tadi tiba berpamitan melanjutkan perjalanan.
“Kita akan istirahat sekitar lima belas menit. Setelah itu lanjut lagi. Kalau diliat-liat, langitnya cukup cerah, meski sesekali masih berkabut.”
Ucapan Dika barusan diangguki oleh Meranti. Sejak dari pos pertama, hingga kini berada di bagian perut gunung, perasaannya tidak aman sama sekali. Namun, gadis itu menepis segala prasangka buruk yang mendera. Ia hanya grogi karena baru pertama kali pergi mendaki. Lihatlah teman-teman yang sudah biasa melakukan perjalanan ini, biasa saja. Tak ada keluh kesah atau kekhawatiran dari wajah-wajah mereka. Pun dengan grup yang tadi sudah melanjutkan perjalanan. Mereka tampak enjoi dan bersemangat.
Seharusnya Meranti juga sama. Bersemangat. Lihatlah langit di atas sana, matahari mulai menyinari meski terhalang dedaunan untuk sampai ke tanah pegunungan yang mereka pijaki.
Lima belas menit berlalu. Dika mengomando lagi untuk memulai perjalanan. Semua bersiap kembali. Putri sesekali menoleh ke belakang melihat Meranti. Setelah memastikan sahabatnya baik-baik saja ditandai dengan lambaian tangan, ia pun kembali menoleh lurus ke depan.
Tiga jam melangkah, melewati hutan bambu, lalu terus naik ke atas melewati track pendakian yang tak begitu landai—sudah mulai ada tanjakan. Dika memantau teman-temannya di belakang, terutama Meranti. Ia pikir gadis itu akan kesulitan, nyatanya tidak. Mereka bak survival profesional yang tidak ada keluhan sama sekali. Fisik kesepuluh orang itu, hampir prima semuanya, sehingga tak terlalu banyak istirahat.
Empat jam berlalu tanpa terasa. Matahari cerah di atas sana. Jam menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Mereka baru sampai di Paninjauhan. Sekitar empat puluh menit melangkah lagi, sudah berada di Pintu Angin—gerbang menuju Cadas—yang ditandai dengan perubahan pijakan dari tanah atau akar menjadi bebatuan.
“Ini namanya Pintu Angin. Lihat pemandangannya. Indah banget ‘kan. Itu Kota Padang Panjang,” ucap Dika sambil menunjuk sebelah kiri mereka.
Meranti dan yang lainnya ikut menengok ke arah telunjuk Dika terkacung. Dalam hati, gadis itu terkagum-kagum. Indah sekali ciptaan Allah. Baru sampai di Pintu Angin saja sudah membuat perasaan Meranti berdecak tak menduga. Pantas saja, banyak orang yang menyukai perjalanan menuju puncak gunung.
“Saat sampai di Cadas, butuh waktu seenggaknya satu jam lagi sampai di Tugu Abel.”
Dika memberitahu lokasi mereka satu per satu kepada kawan-kawan yang lain. Tujuan utama sebenarnya hanya untuk Meranti.
“Ini warung Mak Naro, juru kunci Gunung Marapi. Tapi udah nggak aktif lagi.” Dika kembali berujar, ketika mereka sudah sampai di Cadas, posisi tepat di depan sebuah pondok kecil yang masih berdiri tegak.
“Mau istirahat dulu atau langsung naik aja?” tanya Seto kepada teman-temannya yang lain.