MARAPI

Da Pink
Chapter #25

#25. Mera Tunggu Aku

Jagad maya dihebohkan oleh video dan foto dari para pendaki yang terjebak di atas Puncak Merpati. Sekujur tubuh mereka diselimuti oleh abu vulkanik. Yang paling menjadi sorotan adalah video dua gadis berbeda yang tengah meminta tolong sambil memperlihatkan di mana posisi mereka berada. Doa-doa mengalir di setiap komentar postingan tersebut. Ada yang mengenal dua gadis dalam video itu, lalu mencoba menghubungi pihak kerabat.

Sementara, Meranti masih berusaha bertahan. Tubuhnya sudah tertimpa beberapa batu. Paling parah adalah kakinya. Pada saat kejadian, ia berusaha berlari sekuat tenaga hingga akhirnya tersungkur tak jauh dari Tugu Abel. Saat terjatuh, batu sebesar buah kelapa menghantam betis sebelah kiri. Gadis itu menjerit tak tahan dengan rasa sakit yang diterima. Belum lagi abu yang entah sudah berapa banyak terhirup olehnya. Bau belerang pekat yang membuat dada kian sesak.

“Dika!”

Sepuluh menit berlalu, hujan batu berhenti meski abu terus keluar dari kawah. Wahyu melihat sahabatnya itu sudah tak lagi bergerak. Di depan mata, Dika dihujani batu-batu panas. Kepalanya juga telah terpisah dari badan. Namun, Wahyu tak dapat berbuat apa-apa. Ia sendiri, bahunya pun terluka—tertimpa bebatuan—sebelum akhirnya merosot masuk ke dalam parit.

Pemuda itu kehausan. Raganya lemah. Namun, berusaha bangkit. Ia harus bisa menemukan teman-temannya yang lain sembari mencari perlindungan.

“Meranti! Putri! Fikri! Seto!”

Wahyu tercekat. Ia kian haus, air pun sudah tidak ada. Ia terus mencoba bangkit sambil menutup hidung. Bahunya yang terluka tak henti-henti menggirimkan rasa sakit yang tak terperi. Panas akibat kungkungan abu vulkanik menambah berkurangnya tenaga yang dimiliki. Tangannya akhirnya terlepas dari pegangan pada batu saat akan memanjat naik dari dalam parit yang cukup dalam.

Lima menit berlalu, kawasan di puncak gunung, mulai terang. Abu menyingkir tertiup angin. Wahyu menyipitkan mata. Ia bisa mendengar beberapa orang yang masih hidup. Ada yang mencoba menghubungi keluarga dengan ponsel yang dimiliki. Ada pula yang terus beringsut turun meski dengan tubuh yang sudah terluka dan patah-patah, terdengar dari keluhan yang mereka ringiskan.

Hanya saja, Wahyu belum mendengar suara kawan-kawannya. Entah di mana mereka berada saat ini? Apakah selamat atau tidak? Terkecuali Dika yang ia pastikan sudah tidak ada di dunia ini.

“Bang Wahyu,” panggil seseorang. Wahyu menoleh ke arah kiri. Rupanya ada Seto. Tak jauh dari pemuda itu, ada sosok Fera yang tidak sadarkan diri. Mereka juga terjatuh ke dalam parit yang sama.

Kepala Seto berdarah. Sebagian wajahnya tertutup abu. Sementara Fera …?

“Kemungkinan udah meninggal, Bang.”

Seto memberitahu saat ia berhasil merangkak mendekat ke arah Wahyu yang akhirnya hanya bisa bersandar lemas. Parit itu cukup dalam, sekitar tiga meter. Hendak keluar pun, mereka seakan tidak berdaya.

“Ada sinyal, Set? Kamu udah hubungi keluarga belum?” tanya Wahyu dengan suara serak dan tersengal.

Lihat selengkapnya