“Hape Meranti udah nggak bisa dihubungi,” ucap Bu Yuli sedu sedan di ruang tamu rumah mewah suaminya.
Ada Pak Hadi, Debi, Defano dan Danisa. Mereka semua berkumpul saat mengetahui kalau dari tujuh puluh lima pendaki Marapi yang erupsi, ada Meranti salah satunya. Bu Yuli histeris saat mendapatkan kabar tentang gunung yang erupsi. Ia langsung membuka pesan dari anaknya yang tak dibalas sama sekali, saat berpamitan hendak pergi mendaki di tanggal yang sama ketika Gunung Marapi memuntahkan abu vulkanik yang membumbung tinggi.
Ada kalimat yang terus dibaca berulang kali oleh Bu Yuli pada pesan yang dikirimkan oleh anaknya tersebut.
[… Biar entar, kalau misalnya Mama pengen tahu Mera di mana. Jawabannya udah ada. Di Puncak Merpati …]
Perempuan itu terus menggeleng, tidak ingin menerima kenyataan tersebut. Anaknya pasti selamat. Hanya ucapan ini saja yang membuatnya terus berharap.
“Sudahlah, Yuli ….”
Pak Hadi mencoba menenangkan istrinya tersebut. Tengah malam buta begini, wanita itu masih terus menangis, menyebabkan suami dan anak-anak tirinya terusik hingga tak bisa memejamkan mata.
“Meranti itu darah dagingku, Bang. Dia hartaku satu-satunya. Tapi demi bakti kepadamu, aku rela mengabaikannya selama ini, asalkan dia nggak kekurangan biaya. Sekarang, apa yang bisa kulakukan. Anakku melangkah sejauh itu, tapi kubiarkan aja. Padahal aku pengen banget ngelarang dia!”
Untuk pertama kali, Bu Yuli membentak suami yang telah menafkahinya selama ini. Bukankah semua yang dia lakukan untuk menyenangkan keluarga ini setimpal dengan jumlah uang yang dikeluarkan demi memenuhi kebutuhan Meranti?
Bu Yuli kembali menatap layar ponsel yang menampilkan pesan terakhir putrinya. Dengan mata yang buram akibat air yang menghalangi penglihatan, terus disorotnya benda itu. Tangisan tak berhenti juga, meski sekarang sudah menunjukkan pukul dua dini hari.
Debi yang kebetulan belum kembali ke Padang, menghela napas dalam. Entah kenapa, ada rasa tidak enak bersemayam di dalam relung hatinya. Terlebih melihat betapa hancurnya seorang ibu tiri yang selama ini dianggapnya hanya sebatas pembantu saja. Tampak jelas, cinta dan kasih sayang serta kehilangan teramat dalam dari bahasa tubuh dan raungan itu.
“Defa dan Danisa tidur saja,” bisik Pak Hadi pada dua buah hatinya yang mengenyit sejak tadi.
“Tapi Mama ini berisik, Pi.” Danisa menggerutu.
“Tutup pintu dan telinga pakai bantal kalau masih kedengeran.”
“Kalau besok Danisa telat bangun, Danisa mau libur aja sekolahnya,” sebal gadis kecil itu.
Bu Yuli mendengar, tetapi ia tak mengindahkan. Saat ini pikirannya terfokus hanya kepada Meranti seorang. Rasa sesal begitu dalam menggelayuti sanubari. Seharusnya ia bisa berlaku adil dan lebih peduli kepada Meranti.
Danisa dan Defano beranjak ke kamar. Sedangkan Debi tidak.
“Mera. Kenapa teleponnya nggak aktif, Nak? Mama mau denger suara kamu, Sayang. Mama mau tahu kondisi kamu saat ini. Kamu pasti baik-baik aja ‘kan di sana. Kamu udah liat puncak itu kan? Turun, ya, Nak. Kasih tahu Mama segera, Mera,” raung Bu Yuli sambil terus mencoba menghubungi nomor Meranti.