MARAPI

Da Pink
Chapter #31

#31. Rumah Baru

 Prosesi pemakaman Meranti dilakukan oleh Pak Hadi dibantu Debi. Sementara Bu Yuli masih terbaring lemah di rumah sakit. Kondisinya sangat buruk. Beban pikiran dan rasa bersalah karena begitu dalam sesal yang dirasa atas kematian putri semata wayang, telah merenggut habis tenaganya dari dalam raga. Sukma pun nyaris mati akibat tak lagi ingin diri hidup di dunia ini.

Selepas dari makam, Pak Hadi pergi ke rumah sakit. Ditemaninya sang istri yang tak ingin bersuara meski sudah membuka mata. Pandangan nanar menembus langit-langit ruangan rawat inap di rumah sakit umum daerah. Perlahan kelopak berkedip. Wanita itu abai pada lelaki di sisi bed. Tak peduli lebih tepatnya.

“Abang minta maaf atas semua yang terjadi.”

Ucapan Pak Hadi masih tak bisa membuat Bu Yuli menatap ke arahnya. Mungkin luka di hati wanita itu terlalu besar. Bukan tentang sikap orang lain terhadapnya dan Meranti. Namun, prilaku abainya sendiri kepada darah daging. Jika saja ia tahu kalau Meranti hidup takkan lama lagi di dunia ini, ia pasti akan menghabiskan masa untuk bersama dengan sang putri.

“Maafkan Abang karena telah mengharamkan Meranti untuk tinggal bersama kita. Maafkan Abang, Yuli.”

Bu Yuli masih bergeming. Semua memang salah suaminya.

“Abang tidak tahu harus menebus dengan apa. Kamu sudah baik sekali sebagai ibu sambung bagi ketiga anak Abang. Tapi berbanding terbalik dengan apa yang telah Abang lakukan pada putrimu. Abang benar-benar menyesali semuanya, Yuli.”

Helaan napas Bu Yuli terdengar berat. Ia perlahan menoleh ke arah Pak Hadi.

“Aku yang salah, Bang.” Suara Bu Yuli bergetar. Matanya menghangat. “Aku bahkan dihukum Allah atas semua dosaku pada Meranti. Entah kapan terakhir kali aku memeluknya. Padahal ia selalu bilang kalau rindu padaku. Bahkan, aku menorehkan luka di hatinya dengan tamparan keras itu. Aku tahu dia takkan pernah melupakan perbuatanku kepadanya. Ia bawa sampai mati. Dan hukuman bagiku, ini. Aku menderita. Aku telah membunuh darah dagingku sendiri dengan sikap dinginku selama ini.”

Perempuan itu menangis. Cepat Pak Hadi meraih tisu, lalu mengusap tetesan bening yang keluar dari mata istrinya.

“Jangan bicara begitu, Yuli.”

“Sekarang, semuanya sudah terlambat, Bang. Raga putriku nyaris nggak bisa dikenali. Dia pasti sangat marah sama aku.”

“Ini sudah jadi jalan baginya, Yuli. Tugasmu sebagai ibu, pun Abang juga sebagai sosok ayah sambung tidak becus, hanya bisa mendoakan agar ia diberi ketenangan di sana.”

Bu Yuli menggeleng. “Dia sering bilang tentang kematian sama aku, Bang. Dia bilang pengen ketemu papanya. Aku tahu dia sefrustasi itu dengan semua sikapku. Tapi aku terus menekankan kepadanya agar berhenti bermanja-manja. Yang penting aku masih bisa membiayai kuliahnya. Namun, belakangan, aku sering merasa tak tentu arah. Ada yang hampa dalam dadaku. Kesibukan mengurusmu dan anak-anakmu membuatku terus melupakan putriku sendiri.”

Pak Hadi terhenyak. Namun, tak lantas ingin memotong ucapan istrinya tersebut.

Lihat selengkapnya