MARAPI

Da Pink
Chapter #33

#33. Wisuda Kelabu

 Setelah mengetahu isi hati Meranti yang sebenarnya, hari-hari Mario selalu diliputi awan kelam. Ia benar-benar putus asa saat ini. Menyesali semua yang telah terjadi. Namun, apa yang bisa dilakukan sekarang? Tidak ada. Selain hanya terus menjalani hari dan kehidupan dengan sebaik mungkin. Meranti sudah tidak ada di dunia ini. Akan tetapi, ia terus saja hadir menyapa Mario dalam setiap mimpi di sepanjang malam.

Dua minggu berlalu. Mario berkali-kali menjenguk Putri di rumah sakit. Ia sempat mengobrol saat sahabatnya itu mulai sadar dan menunjukkan tanda-tanda ke arah yang lebih baik. Saat itu, perasaan Mario kian lega. Selain Fikri, Putri pun akan segera pulih. Sudah banyak yang menanti kisah yang dialami di tengah bencana, hingga berhasil selamat dari maut. Padahal, posisinya pun begitu dekat dengan puncak.

Sedangkan Fikri, sudah keluar dari rumah sakit. Ia bahkan pernah di wawancara oleh salah satu jurnalis dari stasiun TV swasta nasional. Tak hanya Fikri, beberapa korban selamat lain pun ikut memberikan kesaksian. Bahkan Mario juga sempat dihubungi untuk tampil di acara-acara podcast banyak youtuber tanah air, seperti dua pemuda asal Batu Palano yang sempat viral. Hanya saja, Mario selalu menolak. Ia tak siap menceritakan apa yang telah dilakukan. Cukup kisah itu mengalir dari orang lain saja. Terlalu sakit untuk menceritakan semua di hadapan banyak orang.

Ponsel Mario berdenting. Ada chat dari salah satu anggota Mapala kampus.

[@Feri: Bang Mario, hari ini aku dapat info kalau kondisi Kak Putri memburuk. Kami berencana menjenguk ke rumah sakit. Apakah Bang Mario bisa ikut?]

Jantung Mario berdetak kencang. Tiga hari lalu ia masih berkomunikasi dengan Putri. Gadis itu terlihat lebih baik dari sebelumnya.

[@Mario: Kalian duluan aja. Nggak usah nunggu Abang. Abang akan langsung ke sana.]

[@Feri: Baik, Bang. Kami juga udah standby.]

Mario segera bangkit, menggapai jaket, lalu beranjak keluar kamar kos. Sepeda motor dilajukan dengan kecepatan tinggi. Hingga tak sampai lima belas menit, ia sudah tiba di rumah sakit.

Mario berlari ke ruang ICU tempat Putri dirawat.

“Put, jangan Put. Kamu harus bertahan. Kamu pasti kuat, Put,” gumamnya dengan dada yang bergemuruh. Ia cemas bukan main.

Langkah kaki Mario terhenti ketika melihat mama Putri menangis meraung di dekapan suaminya. Semua orang yang menunggu di luar ruangan, nampak berwajah suram. Ini pertanda tidak baik. Perlahan tapi pasti, langkah itu membawa Mario kian mendekat.

“Pu—Putri gimana, Bang?” tanya pemuda itu pada salah seorang kerabat Putri yang menanti.

Pemuda yang ditanya, menggeleng. Air matanya mengucur. “Udah nggak ada, Mar.”

Mendengarnya, Mario bagai berada di tengah pekik gemuruh langit yang menghantarkan petir besar-besar menimpa pendengaran. Belum lagi angin yang berembus kencang membuatnya tak bisa bicara karena akan percuma, sebab suaranya takkan bisa didengar. Mario laksana terombang-ambing di tengah lautan berombak beringas. Kedua sahabatnya pergi meninggalkan dirinya seorang diri.

Tadinya ia memiliki harapan akan hidup Putri yang lebih lama. Namun, ternyata takdir berkata lain. Putri pun dipanggil juga.

Lihat selengkapnya