MARAPI

Da Pink
Chapter #34

#34. Skizofrenia

Waktu berlalu sangat cepat, tak terasa Mario kini telah berada di ibukota, memiliki pekerjaan bagus di salah satu kantor pusat perusahaan BUMN ternama. Pergi jauh dari kampung halaman bukan tanpa alasan. Mario tak ingin terlalu larut dalam duka atas kepergian Meranti. Jujur, ia sangat tersiksa dengan semua kenangan itu.

Kini Meranti mungkin sudah tenang. Empat tahun terlewatkan sudah. Setiap tanggal 3 Desember, klub mapala selalu memperingati gugurnya mereka yang menjadi korban erupsi kala itu.

Seperti tahun ini, di tanggal 3 Desember 2027. Mario duduk di beranda apartemen yang disewa sambil menatap langit nan berbintang. Ia berada di lantai 27. Ada dua cangkir diletakkan di meja teras. Satu untuknya dan satu lagi untuk Meranti.

"Andai aku tahu mati itu rasanya sakit, aku akan mencabut semua ucapan tentang keinginan untuk segera mati."

Mario menoleh pada asal suara. Gadis itu selalu datang dengan gaun putih bersihnya.

"Aku pasti akan dengerin kamu buat nggak pergi. Di tanggal ini, empat tahun lalu. Aku kesakitan banget, Mar. Sakit banget. Dadaku sesak. Aku kesulitan bernapas. Belum lagi batu-batu menimpa tubuhku. Kakiku remuk. Sakit semuanya."

Mario menghela napas dalam. Lalu, meraih cangkir tehnya.

"Tapi ... setelah melewati semua kesakitan itu. Aku merasa ringan, Mar. Aku melayang melihat jasadku terus tertimbun abu. Untung saat itu aku udah mati."

Meranti menoleh pada Mario. Ia tersenyum manis, membuat perasaan Mario kian nelangsa.

"Kamu seharusnya terus melanjutkan hidup dengan baik, Mar. Lihatlah dirimu sekarang. Andai aku masih hidup. Apakah kita akan menikah?"

Mario menunduk. Lalu mengangguk.

"Itu pasti. Aku akan menjadikanmu istriku. Kita akan tinggal bersama di sini. Kamu boleh bekerja, boleh tetap di rumah. Terserah nyamanmu di mana."

Meranti mengedipkan sebelah mata. Ia tersenyum kian lebar.

"Aku tahu kamu pasti bakalan jawab begitu. Hem, Mar," panggil gadis bergaun putih itu.

Mario mengangkat alis. "Hm."

"Sekarang usia kamu udah 27, kan? Waktu yang tepat buat berumah tangga. Apa kamu nggak kepikiran menjalin keseriusan sama satu gadis? Kamu bisa mendapatkan yang lebih dari aku."

"Nggak segampang itu Meranti. Berapa kali harus kukatakan, kepergianmu dengan cara seperti itu menyisakan ruang hampa di dalam sini." Mario menunjuk dadanya. "Aku udah kayak orang gila bicara sendiri dengan halusinasiku terhadapmu. Seolah-olah kamu itu nyata. Orang lain pasti menatap aneh kala aku mengalami hal seperti ini. Mereka nggak akan pernah bisa percaya kalau kamu itu benar-benar bisa kulihat, bicara denganku. Hanya aja, aku nggak bisa nyentuh kamu."

Ekspresi Meranti berubah sendu. "Jangan seperti ini, Mar. Jangan siksa dirimu. Mungkin memang lebih baik jika kamu pergi untuk berkonsultasi mengenai kesehatan mentalmu. Aku ingin kamu bisa menikmati hidup dengan nyaman. Jangan hanya terkungkung dalam masa lalu bersamaku. Aku udah mati, Mar."

Mario memejam. Benar apa yang dikatakan Meranti. Mentalnya sedang tidak baik-baik saja sejak kematian gadis itu. Namun, berbeda dari kebanyakan orang, Mario menyadari betul bahwa memang ada yang tidak beres tengah terjadi pada dirinya. Tidak mungkin ada orang yang sudah meninggal akan datang lagi kepadanya seperti sekarang. Ia tak memiliki kemampuan apa pun untuk melihat hantu. Hanya saja, Mario terlanjur menikmati gangguan mentalnya ini. Seolah rindu pada Meranti dapat terobati karenanya.

Ketika membuka mata lalu menoleh lagi ke sebelah, Meranti sudah tidak ada. Ia langsung menghela napas dalam, lantas mengembuskannya perlahan. Kemudian bangkit dan bersandar pada teralis penyangga beranda.

"Nggak ada yang bisa gantikan kamu, Mer."

Lihat selengkapnya