Maya tetap bungkam. Walau Mario sudah menyebutkan satu nama terduga. Hingga sampai rumah pun, pembahasan tentang orang itu sudah tak lagi dilanjutkan.
Keesokan harinya, Mario diminta menjemput Lisa ke alamat tertera. Karena sudah berjanji pada sang mama, ia pun melakukannya. Hanya menjemput, lalu mengajak makan, selesai. Fotonya sudah dilihat, Mario mengakui Lisa cukup menarik. Sama halnya dengan banyak perempuan yang ditemui di ibukota. Jarang ada yang tak memikat. Terlebih mereka pandai bersolek.
"Maaf kalau Bang Mario ngerasa kurang nyaman sama Lisa."
Itu kata pertama yang diucapkan Lisa setelah mereka berada dalam mobil.
"Nggak kok, Lis."
Tangan Mario cekatan memainkan stir dan persneling. Kendaraan itu melaju juga. "Kamu mau makan di mana?" tanyanya mencoba melebur suasana kaku yang tercipta.
"Kalau nggak keberatan, makan yang biasa aja, Bang. Bakso atau mi ayam juga boleh."
Mario mengangguk. Lisa sopan juga. Tak menjawab terserah serta memilih tempat yang merakyat. Walau, jika ia meminta makan di kafe atau restoran mahal pun, Mario tetap sanggup membayar. Namun, gadis itu tak melakukannya.
Lokasi yang dipilih Lisa cukup ramai. Mario sampai kesulitan mencari parkir. Sebab, warung mi ayam pinggir jalan itu tidak menyediakan tempat parkir untuk mobil. Hanya deretan sepeda motor yang memenuhi tanah lapang di depan warungnya.
Akhirnya, mobil terpaksa diparkir di bahu jalan.
"Lisa juga nggak tahu kalau parkirnya nggak ada. Soalnya Lisa sering ke sini sama motor. Maaf, ya, Bang."
Mario menggeleng sambil tersenyum. "Nggak apa-apa, Lis. Santai aja."
Gadis itu melangkah lebih dulu untuk menyeberang, tapi tak disangka dari jalur kiri ada sepeda motor yang melaju kencang. Lisa terperanjat. Tak hanya karena sepeda motor itu, tapi juga sebab tangannya diraih Mario yang menarik ke belakang.
"Mer!"
Lisa menatap Mario bingung. Namanya Lisa, bukan Mer. Lalu, siapa yang dipanggil Mario barusan?
Saat menyadari ada yang salah, Mario cepat-cepat melepaskan genggaman tangannya di jemari Lisa. "Maaf, Lis. Saya refleks."
Gadis ayu itu mengangguk. Canggung rasanya. Bahkan setelah mereka duduk berhadapan di salah satu meja yang tersedia. Keduanya masih diliputi hening.
"Maaf soal tadi," ucap Mario mengalah untuk bicara lebih dulu.
"Mer itu siapa, Bang?"
Lisa justru lebih tertarik menanyakan hal ini. Ia penasaran. Barangkali gadis itu tak terlalu peduli dengan pemberitaan dunia maya perihal sosok Mario dan sahabat cantiknya yang sudah tenang di alam sana, sehingga tidak tahu-menahu tentang Meranti.
"Meranti. Dia sahabat saya. Teman baik sekaligus gadis pujaan hati saya."
Lisa mengangguk, mencoba untuk bersikap biasa saja. Ia tak diberitahu sebelumnya jika Mario ternyata telah punya pilihan hati sendiri. Kalau sudah begini, ia jadi ingin mundur sebelum melangkah lebih jauh.