Margin

Aliurridha
Chapter #2

Margin #2

16 November 2023

Kutil memasukkan aku ke sebuah grup. Grup itu berisi lima orang. Tapi grup itu rasanya terlalu sepi. Tidak ada percakapan sama sekali. Aku memperkenalkan diri dan tidak ada yang menanggapi. Aku merasa ada yang salah di sana. Hanya saja aku tidak mengerti apa masalahnya. Mungkin orang-orang ini memang tidak suka berbasa-basi. Aku berusaha mengabaikan pertanyaan-pertanyaan menjejal kepalaku. Tidak usah terlalu dipikirkan. Mereka orang-orang profesional, dan orang-orang profesional tidak memerlukan banyak formalitas.

Aku mencari-cari pembenaran untuk reaksi mereka yang dingin. Namun, begitu Kutil mengumumkan bahwa lusa kami akan berkunjung ke pasar murah yang dilaksanakan di suatu desa di Lombok Timur dan tidak ada yang menanggapi kecuali diriku, aku semakin yakin ada yang salah di sana. Kutil berkata dirinyalah yang memimpin proyek ini, dan orang-orang di dalam grup ini bahkan tidak menanggapi perintahnya. Tidak ada reaksi apa pun. Tak ada kata “oke”, tidak ada basa-basi “siap bos”. Bahkan sekadar emoticon pun tak ada. Jika aku yang diperlakukan begitu, mungkin tidak masalah. Aku orang baru dan tidak dikenal. Lain cerita dengan Kutil. Jika yang dikatakannya benar, meski mereka tidak suka dengan Kutil (aku yakin pasti banyak yang tidak suka dengannya), harusnya mereka menanggapi apa yang dikatakannya, karena bagaimanapun Kutil adalah bos mereka.

Aku merasa isi kepalaku gatal sekali, tetapi aku tidak bisa menggaruknya.

 

17 November 2023

Kunjungan ditunda karena surat izin pasar murah belum keluar.

 

18 November 2023

Kutil memintaku datang ke kantor. Ketika Kutil mengatakan kantor, yang dia maksud sebenarnya adalah posko pemenangan. Lokasinya bisa dibilang cukup strategis untuk menjadi posko pemenangan. Letaknya masih di pusat kota, tidak jauh dari kampus terbesar di kota itu. Di sebelah kanan posko ada perpustakaan yang sudah jarang dikunjungi. Di depannya ada rumah sakit yang selalu ramai dikunjungi. Di sekeliling Posko berjejalan warung-warung makan mulai dari yang pas untuk kantong pegawai kelas satu, sampai yang pas kantong mahasiswa yang sering libur mendapat kiriman uang dari orang tuanya.

Posko itu sendiri merupakan bangunan tua yang disulap menjadi tempat kumpul anak muda. Di dinding bangunan terdapat sebuah mural yang menampilkan wajah pasangan calon presiden dan wakil yang didukungnya. Gambar itu cukup mencolok dengan garis-garis halus yang elok. Warnanya yang didominasi hijau telur asin membuat wajah pasangan itu terlihat lembut dan ramah, jauh lebih ramah daripada yang aku temui di billboard dan baliho-baliho berwarna merah. Orang yang menggambar, dan mungkin juga yang menginstruksikannya, pastilah orang yang cakap. Ia mengerti sekali merah merupakan warna yang tidak berterima di sini. Sejarahnya panjang dan sebaiknya tidak usah diceritakan. Atau mungkin akan kuceritakan lain kali jika memang diperlukan.

Halaman Posko ini cukup luas. Jika tidak ada pohon dan meja dan tidak banyak kendaraan yang terparkir di sana, maka kita bisa bermain sepakbola mini (lima lawan lima). Di halaman ini ada sebuah pohon besar yang usianya mungkin jauh lebih tua daripada usia kakekku, itu pun jika kakekku masih hidup (kakekku sudah lama meninggal). Di bawah pohon itu ada semacam undakan tempat orang bisa duduk. Di sanalah aku menunggu Kutil. Udara terasa begitu menyegarkan untuk siang yang terik. Angin sepoi-sepoi mengelus ramah kulitku. Aku mengambil novel Haruki Murakami berjudul Kronik Burung Pegas dari ranselku. Untuk merintang waktu, aku memilih membaca novel ini. Telah lama novel ini berada di rak ruang tengah rumahku dan aku belum juga menyentuhnya. Berkali-kali kupadatkan niat untuk membacanya, tetapi tidak pernah kulakukan juga. Novel ini terlalu tebal dan aku butuh banyak waktu luang untuk membacanya dan waktu luang tidak pernah ada. Aku terlalu sibuk mengerjakan begitu banyak hal guna menambal kebutuhan bulanan yang penuh lubang. Butuh banyak waktu luang dan nyali untuk bisa membaca, dan karena aku merasa sudah punya cukup nyali hingga berani terjun di dalam dunia yang selalu kuhindari, maka aku merasa inilah saatnya. Kubayangkan juga pekerjaanku ini tidak terlalu padat, karena kata Kutil, aku hanya menjadi notulen untuk pertemuan-pertemuannya.

 Kata Kutil, hari ini akan ada rapat dan aku cukup datang rapat pukul 15.00. Rapatnya sudah dimulai dari pagi, namun, menurutnya, aku cukup datang saat rapat bersama tim manajemen guna mendengarkan laporan ketua divisi litbang. Sekarang sudah siang menjelang sore dan posko ini masih tampak sepi. Mungkin orang-orangnya sedang beristirahat. Kupandangi halaman Posko yang luas, mungkin hampir dua kali lapangan basket, dan di tanah lapang sebelah kanan, ada beberapa meja dan kursi. Kubayangkan meja dan kursi itu sebagai sarana untuk mengundang orang-orang yang mampir di warung-warung di sekitar posko agar tidak perlu berjejalan di kursi kayu kecil yang goyang dan rapuh di trotoar jalan. Aku tidak tahu apakah kursi dan meja itu telah ada dari sananya, atau memang sengaja dibuat seperti itu agar tempat ini menjadi ramai. Tentu saja kursi dan meja ini lebih baik daripada kursi dan meja milik warung-warung liar di sekitar Posko. Jika memang ini disengaja, cerdas juga idenya.

Lihat selengkapnya