19 November 2023
Ada jarak yang tak terjelaskan antara aku dan Kutil. Kami berada dalam satu kendaraan, menuju ke satu tujuan, tetapi aku bisa merasakan kami tidak berada di tempat yang sama. Bukan tempat dalam pengertian yang harfiah, melainkan tempat dalam pengertian metaforis.
Saat itu kami sedang dalam perjalanan menuju pasar murah di Pringgabaya, Lombok Timur. Sehari sebelumnya, pulang dari rapat, tiba-tiba Kutil menghubungiku. Itu hampir tengah malam. Nadanya penuh perintah. “Besok kita berangkat ke Lotim jam 12 siang!” Rupanya ia juga telah membuat pengumuman di grup, dan karena aku tidak membalas, ia mengirimiku pesan. Aku baru membaca pesan itu pagi ini. Aku sudah tidur di malam ketika Kutil mengirim pesan. Paginya aku membalas dan bertanya di mana bertemu. Kutil bilang langsung ke rumahnya saja. Ia membagikan lokasi rumahnya. Sebelum pukul 11.00 aku telah tiba di rumahnya, dan ia telah siap. Namun, sopirnya belum datang.
“Paman ini memang nggak bisa ikuti ritme kerja saya,” kata Kutil marah-marah. Kami telah lebih 15 menit menunggu dan sopir itu belum juga datang. Untuk mengisi waktu selama menunggu, Kutil menjelaskan detail pekerjaanku agar tidak kagok seperti kemarin. Kutil menjelaskan apa yang harus kulakukan nanti ketika nanti bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat. Ia meminta aku mengambil foto dan membuat laporan. “Laporannya sederhana saja. Jangan seperti kemarin. Itu terlalu panjang dan bertele-tele. Kamu bukan sedang menulis cerita, tidak perlu segala detail kamu gambarkan. Orang-orang di atas sana nggak punya waktu untuk membaca yang seperti itu. Mereka hanya ingin tahu kegiatan kita yang sudah berjalan,” jelas Kutil.
Rupanya kemarin itu Kutil tidak mengirim laporanku ke divisi litbang kami, dan litbang kami tidak mengolahnya untuk mengirim ke litbang pusat. Aku baru tahu itu hari ini. Kemarin itu Kutil sengaja mengujiku. Ia hendak melihat inisiatifku dalam bekerja. Rapat kemarin memang tidak untuk dilaporkan. Kutil kemudian memperlihatkan format laporan dan seperti apa model laporan yang akan dikirim ke Litbang. Ia berkata ia senang dengan ketelitianku dalam mencatat segala hal, tetapi yang sedetail itu tidak perlu dilaporkan.
Setelah penjelasan panjang lebar itu Kutil memasukkan aku ke grup litbang agar aku bisa langsung mengirim laporanku ke sana.
Tidak lama setelah itu, sopir kami datang. Ia sempat sedikit basa-basi bercerita terkait jalanan yang macet. Kutil tidak tertarik mendengarkan ceritanya.
“Ayo jalan. Kita sudah ditunggu. Pasar murahnya sudah mulai dari pagi,” kata Kutil.
Mendengar itu Ahmad Jaber bergerak gesit menuju mobil. Lemak-lemak di tubuhnya ikut bergerak.
“Di mana yang lain?” tanyaku.
“Tidak ada. Hanya kita saja,” balas Kutil.
“Bukannya ada dua orang lagi di grup?”
Pertanyaanku tidak ditanggapinya. Kutil lantas membuka pintu dan mengambil tempat di belakang. Ketika aku menyusulnya, ia meminta aku duduk di depan.
“Paman sering ngantuk, kamu tolong lihat dia. Ajak ngomong kalau dia mulai ngantuk,” kata Kutil. Nadanya lagi-lagi terdengar memerintah. Langsung tidak enak perasaanku. Perjalanan ini sepertinya akan menyebalkan.
Sepanjang perjalanan aku beberapa kali mencuri lihat ke belakang. Kuperhatikan Kutil begitu sibuk dengan telepon pintarnya, mengetikkan sesuatu, berhenti sejenak, memiringkan kepalanya. Kemudian ia kembali mengetikkan sesuatu. Kadang ia menelepon dan berbicara beberapa hal yang tidak aku mengerti. Tampak sibuk betul kawanku ini. Lalu di menit-menit ia tidak menelepon, keheningan menyelimuti kami. Beruntung Paman sering mengajak aku berbicara. Ia bertanya seputar kehidupan personalku yang rasanya tidak menarik untuk diceritakan. Jadi aku hanya menanggapi seadanya dan bertanya balik tentang kehidupan personalnya. Tujuanku sekadar agar ia berhenti bertanya, tetapi basa-basi itu ditanggapinya dengan serius.
“Anak saya yang paling besar perempuan sudah kerja di Bank. Dia kerja di BRI, belum jadi pegawai tetap, tetapi mungkin sebentar lagi.”
Cukup optimis juga orang ini, pikirku.
“Anak saya yang kedua juga perempuan. Sebentar lagi kuliahnya selesai. Saat ini dia sedang menyusun skripsi. Kuliahnya juga di Unram. Tapi bukan jurusan Pertanian. Kalau dia ini jurusan Hukum.”
Aku bahkan tidak ingat apakah Paman tadi sempat mengatakan anak pertamanya kuliah mengambil Pertanian.
Lalu dia melanjutkan, “Tapi sepertinya dia juga akan ikut kakaknya kerja di Bank.”
“Ya, kerja di Bank memang menyenangkan,” balasku tanpa maksud apa-apa.
“Anak saya yang ketiga juga perempuan. Sekarang dia kelas tiga SMA. Sepertinya akan saya suruh masuk Fakultas Ekonomi.”
“Supaya bisa kerja di Bank?” tanyaku polos.
“Bukan. Sepertinya di Ekonomi lebih bagus. Nanti dia bisa belajar bisnis.”
Aku ingin membantahnya. Aku ingin mengatakan bahwa kuliah ekonomi tidak menjamin anaknya bisa bisnis. Dosen-dosennya saja tidak bisa. Satu-satunya pelajaran bisnis yang didapat anaknya jika kuliah di ekonomi mungkin adalah menjadi ayam kampus. Aku ingin mengatakan itu kepadanya tetapi tidak jadi. Itu bukan jenis percakapan yang tepat dikatakan kepada orang tua yang berharap masa depan anaknya cerah. Jika aku mengatakannya, mungkin urusannya bakal panjang. Lagi pula aku mulai mengantuk. Mataku mulai terasa berat. Aku memang mudah mengantuk di perjalanan. Jika bukan aku yang membawa kendaraan, aku biasanya tidur sepanjang jalan.