20 November 2023
Kutil kesal. Ia kesal sekali dengan informan yang mengantar dan menjembatani pertemuan kami dengan komunitas Banjar Sweta. Ia benar-benar kesal karena pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa kecuali kemungkinan kami dimanfaatkan oleh mereka untuk mendulang pundi-pundi rupiah dari kantong kami.
“Sudah berkali-kali saya bilang, kita harus menghindari orang partai. Kamu kok tolol betul. Kamu tidak tahu mereka itu merah. Tidak perlu kita rayu pun mereka akan pilih Kosong Tiga,” kata Kutil memarahi informannya lewat telepon.
“Harusnya kamu gali lebih dalam. Apa gunanya menjaring pemilih yang sudah jelas akan memilih orang kita? Mereka itu jelas-jelas merah. Baru masuk gang rumah mereka kita sudah disambut baliho dan spanduk banteng. Kamu benar-benar memeriksanya atau tidak? Saya jadi ragu sama kamu.” Kutil tidak berhenti melontarkan keluhan atas tidak becusnya anak buahnya. Keluhan itu bukan untukku, tetapi rasanya seperti ditujukan kepadaku.
“Kamu tahu, tugas kita itu menjaring pemilih di luar orang partai. Orang partai sudah pasti menurut pada atasannya dan memilih Kosong Tiga. Tidak perlu kita dekati lagi. Kamu tahu apa yang mereka katakan ke saya?” Kutil mengambil jeda. “Mereka minta bantuan 250 juta untuk deklarasi. Itu tolol! Tanpa seremoni begitu mereka juga sudah jadi pendukung. Buat apa seremoni? Habis-habiskan anggaran saja. Lagi pula mereka itu punya uang sendiri. Mereka bukan mau deklarasi, mereka mau merampok kita. Mereka cuma mau manfaatkan kita,” kata Kutil, masih dengan nada tinggi.
Apa yang dikatakan Kutil tidak benar. Sebenarnya orang-orang yang kami temui tidak benar meminta dana secara langsung kepada kami. Aku ada di sana, menemani Kutil. Jadi aku tahu kejadian sebenarnya. Mereka hanya menjelaskan apa masalah mereka, mulai dari pura yang rusak hingga masyarakat kecil yang terpaksa menunda upacara kremasi untuk keluarga mereka karena tidak ada dana untuk ngaben. Memang ada indikasi mereka ingin minta bantuan sebagai pintu kerja sama, namun kupikir itu tidak seekstrem yang Kutil katakan. Kutil terlalu sensitif saja. Entah kenapa anak itu sensitif begitu tahu orang yang kita temui adalah pengurus cabang partai merah. Ia juga sangat sensitif setiap tahu ada calon legislatif yang ikut terlibat dalam kegiatan kami. Seperti juga kegiatan pasar murah di Pringgabaya kemarin.
Sepanjang perjalanan pulang dari Lombok Timur kemarin Kutil mendongkol. Ia kesal karena kehadiran dewan itu. “Muslim sialan! Kenapa dia ajak orang itu. Sudah saya bilang untuk tidak usah bekerja sama dengan caleg. Mereka itu mau porotin uang saya,” katanya marah-marah. Aku tidak terlalu menanggapi karena tidak ingin menambah rasa kesal di hatinya. Apalagi aku tahu bahwa saat itu ia juga kesal denganku karena aku turut campur tanpa seizinnya. Ia tidak ingin aku membantah apa yang dikatakannya. Mungkin itu juga alasan kenapa Paman yang biasanya cukup cerewet, tidak banyak berbicara di dalam forum itu.
Setelah puas, ia diam sejenak mengambil napas. Kemudian ia memerintahku. “Segera kirim laporannya. Kirim ke saya dulu. Biar saya lihat,” ujarnya. Aku pun bersegera mengerjakannya. Sepanjang perjalanan itu aku mengerjakan laporan kegiatan tadi. Setelah selesai, aku mengirimnya ke Kutil. Kutil membacanya dan memperbaiki detail-detail kecil di laporan itu lalu mengirimnya kembali ke aku. Aku membacanya. Beberapa dipangkas. Beberapa dikurangi. Beberapa ditambah. Jumlah kebutuhan tandon air menjadi 50 buah. Padahal sebelumnya dia berkata hanya sanggup menyediakan 20 buah. “Teruskan ke Litbang!” kata Kutil dengan nada yang penuh perintah. Aku ragu-ragu mengirimnya karena beberapa data berbeda dengan apa yang aku temukan di lapangan. Kutil sepertinya menangkap sekelebat keragu-raguanku itu.
“Ada apa?” tanyanya.