Margin

Aliurridha
Chapter #5

Margin #5

23 November 2023

Kutil dihubungi seseorang yang mengaku bernama Putu. Lelaki ini juga mengaku mendapat nomor Kutil dari atasan Kutil. Putu mengaku sebagai relawan Ganjar-Mahfud dan ingin mengajak kerja sama. Kutil tidak langsung percaya begitu saja. Kutil sempat ragu, tetapi mengingat lelaki ini bisa mendapatkan nomornya, nomor yang hanya digunakan untuk pekerjaan ini, ia jadi tidak berani menolak ajakan lelaki ini untuk bertemu. “Mungkin orang ini benar mendapat nomornya dari orang itu,” ujar Kutil kepadaku. Siapa orang itu, aku sendiri tidak tahu. Kutil tidak membahas lebih lanjut dan aku juga tidak bertanya.

Kami bertemu Pak Putu di sebuah kedai makan yang terletak di sekitar wilayah Cakranegara. Letaknya tidak terlalu jauh dari Terminal Bertais. Mungkin sekitar 10 menit perjalanan ke arah barat terminal. Kedai itu tidak terlalu mewah tetapi cukup menyenangkan. Tempatnya lumayan terbuka hingga udara panas siang itu tidak membuat kami kegerahan. Kulihat banyak kendaraan lewat di sepanjang jalan raya. Itu jalan raya kota di mana banyak mobil, bus, dan truk pengangkut barang lewat. Beberapa singgah karena lokasinya memang sangat strategis untuk disinggahi para pekerja saat istirahat siang. Banyak juga para petarung jalanan yang singgah untuk melepas lelah, makan sebentar, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan lebih jauh. Menu-menunya sebenarnya biasa saja, hanya lalapan ayam, bebek, juga ikan. Namun, menurut Pak Putu, rasanya istimewa, dan yang paling penting, ramah di kantong pekerja. Jadi itu alasan ia sering makan di tempat itu atau mengajak orang bertemu di tempat itu. Tentu saja itu di luar pemilik kedai itu adalah temannya sendiri. “Kita harus membantu kawan, bukan?” Pak Putu bertanya retoris.

Tidak lama duduk, pelayan datang membawakan daftar menu. Kutil memesan ayam bakar dengan sambal bawang, aku memesan ayam bakar dengan sambal hijau. Pak Putu memesan ayam bakar utuh dengan sambal bawang juga sambal hijau. Untuk minumannya, kami sepakat minum es jeruk saja. Setelah pelayan meninggalkan kami, Pak Putu mulai bercerita. Dari cara ia bercerita, aku bisa menangkap ia lelaki yang sangat optimis. Aku biasanya tidak terlalu menyukai sosok yang terlalu optimis, tetapi Pak Putu agak berbeda. Ia mampu menularkan hawa positif kepada diriku yang kurang bergairah dalam pekerjaan. Ia juga mampu menularkan hawa positif kepada Kutil yang selalu mencari celah dari kebohongan kata-kata. Kutil tampak lebih bersemangat setelah kemarin bertemu orang-orang yang tidak pantas ditemui, tetapi tetap harus ia temui. Ia benci melakukan itu. Ia benci memberikan anggaran untuk program-program sampah mereka. Namun ia tetap harus melakukannya, karena jika tidak, pekerjaannya tidak akan kelihatan progresnya. Jika tidak ada progres, ia akan mendapat teguran dari atas. Jika ia mendapat teguran, bisa dipastikan dana akan macet. Begitu jelas Kutil kepadaku.

 Kami membicarakan banyak hal mulai dari politik negeri sampai situasi ekonomi terkini, terutama kondisi ekonomi di Lombok. Pak Putu bercerita ekonomi memang sedang susah, tetapi ia merasa selalu ada celah untuk yang cerdik melihat peluang. Ia juga bercerita bagaimana ia merintis usahanya ketika pertama kali datang ke Lombok. Sebelumnya ia hanya seorang buruh di Bali. Lalu ia ikut kerja membawa barang-barang elektronik untuk dijual di Flores. Lalu ia mencoba-coba memulai usaha di Mataram. Awalnya ikut usaha orang di bisnis tour & travel. Kemudian ia berani membuka sendiri usaha yang sama. Usahanya berkembang. Usahanya gagal. Ia pulang ke Bali, bekerja mencari modal, kembali ke Lombok, memulai usahanya, dan usahanya kembali lancar. “Tapi sekarang banyak pemain. Kalau tidak cerdik, tidak akan kebagian kue,” ujarnya. Sekarang Pak Putu sudah punya sebuah hotel bintang empat tidak jauh dari tempat kami makan dan beberapa bungalo di Gili Trawangan. Aku benar-benar tertarik mendengarkan ceritanya. Aku selalu tertarik mendengar cerita orang-orang sukses memulai bisnis dari nol. Aku pernah mencoba beberapa usaha dan gagal, namun aku masih menyimpan asa. Aku selalu berpikir untuk memulai kembali.

Percakapan kemudian meloncat ke pembahasan politik. Pak Putu mulai menyinggung langkah politik Presiden yang dinilainya terlalu kasar. Ia berkata ia sangat menyayangkan keputusan Presiden melibatkan anak dan menantunya untuk mengamankan posisinya. Ia mengaku dirinya adalah pendukung presiden selama dua periode, tetapi rasa kecewanya atas apa yang dilakukan presiden membuat ia tidak mungkin mendukung pilihan lelaki itu sekarang. Ia mulai merasa kecewa begitu wacana tiga periode muncul. Kekecewaan membuat ia berbelok arah dan memilih untuk melawan. Ia benar-benar menyebut kata melawan.

Aku sebenarnya juga kecewa, tetapi aku bukan orang yang terlalu mempermasalahkan siapa orang yang duduk di kursi kekuasaan. Kekecewaanku sudah di tahap tidak mau tahu lagi terhadap situasi politik terkini. Aku menganggap politik tidak lebih dari seni berbohong. Meski begitu, pada tahun 2014 aku sempat mendukung Presiden yang ketika itu ia masih sebatas calon presiden. Demi memperlihatkan dukunganku, aku bahkan rela berdebat dengan pendukung lawan. Tetapi dukungan itu, sebenarnya bukan datang atas dasar aku mengenal dirinya; aku hanya merasa ia jauh lebih baik daripada lawannya. Aku tidak ingin lawannya berkuasa. Beda lagi di tahun 2019, aku tidak memilih keduanya. Aku kesal karena Presiden tidak menuntaskan janjinya untuk menyelesaikan segala kasus pelanggaran HAM. Itu membuat aku meyakini satu hal: presiden tidak cukup berkuasa; ia tersandra oleh orang-orang di sekelilingnya dan karena itu ia tidak berani membongkar kasus pembunuhan Munir, membongkarnya sama dengan mendorong kartu domino yang akan meruntuhkan bangunan sejarah dan membuka kembali borok bangsa ini. Sejak menyadari tidak ada yang bisa kulakukan sebagai warga negara, aku memilih fokus cari nafkah saja. Meski aku kecewa dengan presiden, tidak pernah sekalipun aku berpikir Presiden melakukan apa yang dilakukannya untuk dirinya sendiri. Aku yakin itu keputusan yang dibuat orang-orang kuat di sekelilingnya.

“Mungkin tidak jika itu bukan keinginannya, tapi presiden tersandra kepentingan yang lebih besar?” tanyaku.

“Tidak. Itu benar-benar dirinya. Kita semua selama ini ditipu,” balas Pak Putu.

Aku tidak percaya orang seperti presiden kita mampu menyusun ini semua. Ia tidak terlihat selicin itu. Ia bahkan tidak terlihat pintar. Aku yakin orang-orang di sekelilingnya yang menggerakkannya melakukan apa yang ia lakukan, atau bahkan, jika memang ada, orang di atasnyalah yang membuatnya melakukan itu.

“Saya yakin itu karena dia melihat peluang, bukan, maksud saya ada orang yang membisikkannya terkait peluang itu, dan karena itu dia melakukan apa yang dia lakukan.”

“Keliru. Itu keliru. Saya juga dulu menduga begitu, tapi saya bisa melihat ini murni keinginan dia. Mungkin ada yang berbisik, tapi dia bisa menolak, toh?” balas Pak Putu bertanya retoris. Lalu ia melanjutkan, “Presiden tidak selugu yang kita kira. Saya malah merasa ini sudah disiapkannya dari dulu.”

Agak tersinggung aku dengan apa yang dikatakannya, lebih tersinggung lagi karena nadanya sedikit kasar, tetapi aku mencoba menanggapinya dengan biasa saja. Pak Putu sepertinya bisa menangkap aku tidak suka dengan apa yang dikatakannya. Ia lantas menoleh ke arah Kutil yang makan dengan khidmat dan tampak tidak tertarik untuk menyumbangkan pendapatnya. Ia sibuk bergelut dengan ayam bakar itu. Ia terlihat tidak ingin kehilangan sedikit pun kenikmatan atas hidangan di meja makan. Ia masih saja seperti dulu, makan seperti ibadah buatnya, dan ia selalu khusuk dalam beribadah.

“Saya kok masih ragu presiden kita bisa merancang itu semua. Saya yakin ada orang lain di belakangnya,” lanjutku bersikeras. Tidak tahu kenapa aku malah jadi bersemangat berdebat dengan orang ini. Mungkin juga karena ia terlalu bersemangat, dan aku tertarik menggali apa yang ada di pikirannya.

“Kamu berpikir begitu? Ya, banyak orang berpikir begitu. Tapi itu keliru. Itu ndak benar. Semua itu pasti dari dia sendiri. Saya mengerti betul jalan pikiran dia. Ndak masalah kalau dia ingin anaknya naik. Itu wajar. Ayah mana yang tidak? Setiap ayah pasti ingin anaknya menjadi orang besar. Tapi caranya itu yang tidak bisa kita terima, bukan?” Lagi-lagi ia membuat pertanyaan retoris. Lalu dengan cepat, tanpa jeda, ia melanjutkan, “Dia sudah mencederai warisan pendiri bangsa ini. Dia….” Pak Putu berhenti dan memilih kata dengan lebih hati-hati. “Ya, pokoknya dia perlu disadarkan bahwa yang dia lakukan salah.” 

“Ya, dia memang perlu diberi pelajaran,” kata Kutil tiba-tiba ikut berbicara.

Ia sudah selesai makan dan sedang menjilat jari-jari tangannya. Pak Putu pun sebentar lagi selesai. Meski sambil berbicara, ia tidak terganggu sama sekali. Hanya piringku yang masih agak penuh. Saat aku menoleh ke piring makanku, Pak Putu mengatakan: “Ayo dimakan dulu. Saking semangat sampai lupa makan. Lihat Mas Nabil sudah selesai.”

Kutil baru selesai minum dan sibuk mencari-cari koreknya. Tidak ketemu. “Boleh pinjam koreknya?” kata Kutil. “Korek saya sepertinya ketinggalan.”

Lihat selengkapnya