Margin

Aliurridha
Chapter #6

Margin #6

24 November 2023

Aku sekali lagi bertemu Tama kemarin. Wajahnya masih seperti apa yang kulihat di pertemuan pertama kami. Wajahnya adalah wajah yang terus menggedor pintu keingintahuanku. Aku ingin bertanya apa yang terjadi kepada lelaki itu ke Kutil dan kenapa posko ini terasa membeku. Namun, Kutil selalu sibuk. Kutil terlalu sibuk. Kemudian aku bertanya kepada Angin, koordinator Divisi Logistik. Kebetulan lelaki ini adalah manusia paling ramah yang kutemui di posko ini, dan kebetulan juga ia setiap hari selalu ada.

Angin adalah orang pertama di Posko yang rajin menyapaku selepas tur lapangan atau ketika Kutil harus menerima tamu di Posko. Kutil sempat memperkenalkan aku kepada Angin. Ia memperkenalkan aku sebagai “si penulis”. Angin pun bertanya-tanya seputar dunia penulisan. Ia juga sempat bercanda ingin menjadi penulis tetapi tidak tahu harus memulai dari mana. Aku tanya apakah ia suka membaca, dan ia menjawab tidak terlalu suka. “Mungkin ada baiknya kamu memulai dari sana. Kamu perlu banyak membaca,” ujarku serius. Aku sadar apa yang kukatakan kasar dan tidak menyenangkan, tetapi ia menanggapi dengan senyum. Lalu ia bertanya buku apa yang sebaiknya ia baca. Aku selalu kesulitan setiap ada orang yang bertanya seperti ini kepadaku. “Bebas saja,” jawabku malas. Ia seperti menangkap keengganan dari suaraku. Mungkin ia bisa merasakan aku tidak suka membahas pekerjaanku, tetapi siapa sih yang suka membicarakan pekerjaannya? Angin meminta maaf karena membuat aku merasa tidak nyaman. Aku merasa menyesal membuat ia sampai harus meminta maaf. Padahal lelaki ini mencoba untuk membuat aku merasa nyaman. Aku terlambat menyadari segala pertanyaan tadi sekadar basa-basi, upaya beramah-tamah, dan Angin tidak benar-benar ingin menjadi penulis. Aku pun balas bertanya tentang dirinya.

Angin menjelaskan siapa dirinya dan bagaimana ia bisa bekerja di sini. Ia dulu pernah bekerja di Lingkaran, sebuah perusahaan event organizer yang dikelola Tama. Lingkaran hanya satu dari empat cabang usaha di dalam perusahaan itu. Angin tidak menjelaskan lainnya, tetapi aku menduga nama anak perusahaan lain adalah Silang, Kotak, dan Segitiga. Sekarang Angin sudah berhenti bekerja di Lingkaran karena ayahnya pernah memintanya untuk melanjutkan studi di Malang. Malangnya, ia tidak mampu bertahan. Tidak sampai satu tahun ia sudah menyerah dan berkata: kuliah tidak akan membawanya ke mana. Saat ia kembali, posisinya sudah terisi. Namun karena ia cukup berpengalaman di bidang itu, Tama sering memanggilnya sebagai pekerja lepas. Sekarang, karena jaringan perkawanannya dengan anak-anak Lingkaran, ia diminta ikut kerja di sini. Sebagian besar orang-orang di Posko adalah teman-teman Angin dari Lingkaran maupun para pekerja lepas yang sering dapat proyek dari Lingkaran.

Angin kemudian berkata, meski tidak terlalu suka dengan pekerjaannya di posko ini, ia senang dengan gajinya. Aku sempat penasaran dan hampir saja bertanya berapa gajinya dan berapa gaji teman-teman lainnya. Namun aku menahan rasa penasaranku yang tidak sopan itu. Sayangnya aku tidak bisa menahan rasa penasaranku yang lain. Aku ingin tahu kenapa tempat ini seperti pagi musim kemarau yang dingin. Kesempatan itu baru terbuka begitu Angin bertanya bagaimana rasanya kerja di politik. Aku pun mengutarakan rasa penasaranku itu. Aku yakin Angin akan memberikan jawaban karena ia anak yang supel dan terbuka. Namun begitu aku melontarkan keherananku, ekspresi wajahnya yang ramah itu berubah; Angin tercekat. Ia seperti tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Wajahnya kemudian berubah sedih.

“Ada yang meninggal di sini, Mas.” 

Aku terkejut mendengar apa yang dikatakan Angin. Ketika aku hendak bertanya lebih jauh, Kutil memanggilku. Kutil memintaku bersiap-siap. Ia berkata kita akan bertemu orang-orang media.

***

 

Ada enam media lokal yang bekerja sama dengan kami. Aku tidak akan menyebutnya satu per satu. Mereka bekerja di luar struktur tim Media dan Propaganda relawan Ganjar. Ada satu orang yang mengepalai divisi ini. Orang itu akan menerima perintah dari Kutil terkait rilis berita seputar kegiatan kami. Lokus utama kegiatan kami adalah untuk membangun legitimasi atas tokoh yang kami usung ataupun mendelegitimasi tokoh atau tim sukses lawan. Setelah membuat rancangan beritanya, kepala tim Narasi dan Propaganda (begitu kami menyebutnya untuk membedakan dengan divisi Media dan Propaganda dalam struktur kami) akan meminta setiap media yang telah teken kontrak kerja sama dengan kami membuat rilis. Keenam media ini akan memparafrasa rilis berita itu. Kadang ia juga akan meminta seorang penulis untuk menulis opini dan diterbitkan di salah satu media yang bekerja sama dengan kami. Untuk penulis, sengaja dipilih orang luar yang tidak punya rekam jejak keterikatan dengan keenam media atau pun dengan kami.

Sosok yang menjadi kepala untuk divisi ini bernama Anang. Ia adalah seorang penulis, aktivis, dan mantan jurnalis. Anang sempat menjabat sebagai wakil pimpinan redaksi untuk koran lokal sebelum keluar karena ketidaksamaan prinsip. Ketika aku menyebut ketidaksamaan prinsip, yang aku maksud adalah gaji. Anang memegang prinsip bahwa gaji yang diterimanya harus dua digit, sedangkan pemilik perusahaan tempat dia bekerja memegang teguh prinsip, semua kAhmad Jaberwannya hanya punya gaji satu digit. Karena itulah ia memilih keluar dan mencari perusahaan yang mau memberinya gaji dua digit. Setelah lama mencari-cari pekerjaan yang sesuai prinsipnya itu, ia menemukan kebijaksanaan hidup, sebuah falsafah terkait hidup; bahwa hidup melulu soal pencarian, dan sejak itu ia terus mencari pekerjaan yang mau menggajinya dua digit. Sembari mencari, ia mengerjakan apa saja untuk menyambung hidup. Sampai kemudian ia menyerah dan berpikir, tidak ada salahnya kembali bekerja sebagai wartawan. Karena kedekatannya dengan pemilik Suara Lombok, ia diangkat menjadi Pimpinan Redaksi Suara Lombok. Kali ini ia terpaksa membuat prinsip hidupnya, ia harus puas dengan gaji kurang dari dua digit.

Pertama kali mendengar cerita tentang dirinya, aku tidak pernah membayangkan Anang adalah sosok yang intelek. Apalagi setelah mendengar lebih banyak cerita orang tentang dirinya. Lalu ketika bertemu, pendapatku semakin kukuh begitu aku melihat wajahnya. Tidak ada sedikit pun sosok intelek tampak kecuali kacamata yang menempel pada wajah gemuknya. Sekilas wajahnya mengingatkan aku pada serial kartu Doraemon. Wajah Anang terlihat seperti ayah Nobita dalam serial itu. Itu membuat aku semakin tidak yakin dan mempertanyakan kredibilitas lelaki itu kepada Kutil. Kutil membelanya. Ia berkata Anang punya bekal pengetahuan jurnalistik yang kita perlukan untuk membuat garis mana yang boleh dan tidak boleh dilewati agar kita tidak kena masalah ke depannya. “Kita harus berdiri di tepian jurang. Tidak boleh terlalu jauh agar bisa berfungsi, tidak boleh terlalu dekat sampai melewatinya. Melewati sama saja dengan cari mati,” terang Kutil kepadaku. Menurut Kutil, Anang benar-benar bisa melihat garis batas itu.

Kutil sengaja memesan kafe yang punya ruang rapat dan menyediakan perangkat elektronik untuk presentasi. Di dalam ruangan itu ada sebuah meja berbentuk persegi panjang. Kami duduk mengelilingi meja itu. Kutil duduk di sebelah kiriku. Ada tujuh orang di luar aku dan Kutil. Masing-masing dari mereka adalah pimpinan redaksi media yang bekerja sama dengan kami. Anang duduk berhadapan denganku, membuat aku mau tidak mau sering menatap wajahnya. Setiap aku menatap wajahnya, rasa geli muncul di perutku karena aku teringat pada ayah Nobita. Namun, aku berusaha menahan dorongan tertawaku yang kurang ajar itu.

Ruangan ini terasa begitu dingin. Sejak masuk, aku langsung dibuat menggigil. Aku memang tidak pernah terlalu kuat dengan udara dingin. Karena itu, begitu masuk aku langsung mencari remot AC. Remot AC tidak kutemukan. Sepertinya remot AC memang sengaja disimpan dan kami harus memanggil pelayan untuk mengurangi suhu dingin di ruangan ini. Aku malas sekali memanggil pelayan untuk hal seremeh itu. Aku berharap yang lain juga merasa kedinginan sehingga mereka berinisiatif memanggil pelayan. Aku heran, mereka tidak ada yang kedinginan.

Sialan, aku menyesal meninggalkan jaketku di Posko!

 

Setelah masing-masing menuliskan pesanannya, apa yang menjadi agenda dari pertemuan ini mulai dibahas. Tujuan pertemuan ini adalah mendiskusikan apa yang sudah dikerjakan, masalah yang ditemukan, serta mencari solusi untuk mengatasinya.

“Sebenarnya tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan,” ujar Anang selaku Pimpinan Redaksi Suara Lombok. “Trennya positif. Berita-berita Ganjar-Mahfud yang kami naikkan sekarang lebih banyak dibaca.”

“Diklik,” kata Pimpinan Redaksi Berita Lombok sinis. “Kita tidak bisa memastikan apakah berita itu benar dibaca atau tidak.”

“Ya, apa pun itu. Setidaknya progres terlihat,” balas Anang.

Aku bisa menangkap ada tegangan di antara kedua pimpinan redaksi ini. Mungkin karena keduanya adalah dua media paling besar di NTB. Berita Lombok adalah media cetak yang dulunya punya oplah paling besar dan tetap mempertahankan kualitasnya ketika zaman digital tiba. Berita Lombok beradaptasi dengan mengembangkan dua lini bisnis: satu luring dan satunya lagi daring. Bisnis daringnya cukup berhasil, namun tidak seberhasil Suara Lombok. Pasca gempa dahsyat yang mengguncang Lombok, Suara Lombok yang dulunya hanya sebuah media suka-suka melejit setelah memberitakan musibah itu. Setelah itu Suara Lombok menjadi media yang paling populer di kalangan Masyarakat Lombok, utamanya generasi muda. Apalagi setelah Anang memegang tumpu kekuasaan redaksional, Suara Lombok semakin melejit sebagai media.

Keduanya pimpinan redaksi ini masih berdebat soal progres itu sampai Kutil ikutan. Ia mengulangi apa yang dikatakan Pimpinan Redaksi Suara Lombok. “Apa pun itu, setidaknya progres terlihat!” ujar Kutil.

Anang menyunggingkan senyum, menyisakan Pimpinan Redaksi Berita Lombok dengan wajah dongkolnya.

Kutil kemudian meminta Pimpinan Redaksi Suara Lombok kembali menunjukkan diagram batang yang memperlihatkan peningkatan jumlah kunjungan. Kutil menyentuh dagunya, berpikir keras. “Tidak ada masalah berarti, kan?” tanyanya.

Buzzer,” balas Anang. “Suara Lombok banyak diserang akun buzzer setiap menaikkan berita yang bermuatan positif terkait Ganjar dan Mahfud,” lanjutnya.

“Dari mana kamu tahu itu buzzer?” tanya Pimpinan Redaksi Harian NTB.

“Narasi yang dipakai terorganisir. Rata-rata kalau dicek IP Adress akun-akun juga itu tidak berasal dari sekitar sini. Kalau tidak dari Jakarta, ya, dari Jawa.”

Teman-teman media lainnya merasakan hal yang kurang lebih sama. Setiap berita yang menaikkan citra positif Ganjar pasti diserang. Pimpinan Redaksi Harian NTB menjelaskan tidak semua buzzer berasal dari luar. Ada juga akun-akun yang berasal dari Lombok. “Apakah mereka buzzer atau sekadar simpatisan, kita perlu mendalaminya,” lanjut Pimpinan Redaksi Harian NTB.

“Buzzer Kosong Dua memang banyak.”

“Bukan hanya Kosong Dua. Kosong Satu juga banyak.”

“Betul. Kita digempur dari dua sisi.”

Lihat selengkapnya