Margin

Aliurridha
Chapter #7

Margin #7

25 November 2023

Aku mulai mengenal rekan-rekan kerjaku seiring lebih sering mampir ke Posko. Aku mulai mengetahui siapa-siapa yang bekerja dan di posisi apa mereka bekerja. Aku juga mulai mengetahui struktur dalam organisasi kami—jika ini memang patut disebut organisasi—lebih dalam. Nama organisasi kami adalah Tim Pemenangan Ganjar-Mahfud NTB yang disingkat menjadi TPGM. Orang-orang menyebut kami relawan Ganjar-Mahfud. Namun disebut relawan sebenarnya kurang tepat juga, tidak ada satu pun dalam TPGM yang bekerja secara sukarela. Semuanya dibayar secara profesional. Kutil adalah Ketua Pelaksana Harian di dalam TPGM. Dirinyalah yang memastikan segala yang berada dalam sistem ini bekerja. Di sebelah Kutil ada Tama. Lelaki ini adalah penasihat sekaligus wakil ketua TPGM. Aku mendengar Kutil dan Tama sudah lama bekerja bersama dalam konteks politik di daerah kami. Kutil bahkan bercerita kalau posisi mereka setara. Kalau dari jaringan Tama pekerjaan ini datang, maka Tama yang memimpin; kalau dari jaringan Kutil pekerjaan ini datang, maka Kutil yang memimpin. Dan karena sekarang jaringan perkawanan Kutil di UNAIR dulu yang memberikan pekerjaan ini, maka Kutil yang menjadi ketua pelaksana harian.

Di bawah kedua orang ini ada Bang Jamal, lelaki pendiam yang menjadi bendahara keuangan kami. Ia terlihat seperti serigala yang memata-matai setiap gerak-gerik kami. Apalagi jika sudah menyangkut anggaran, matanya menjadi sangat tajam. Begitu yang kudengar dari Faruk, kepala divisi media dan propaganda. Di bawah tim manajemen yang telah aku sebutkan tadi, ada kepala Divisi Litbang, kepala divisi Media dan Propaganda, kepala divisi Rumah Tangga, kepala Divisi Logistik, dan kepala Divisi Lapangan. Masing-masing divisi ini mengetuai anggota yang jumlahnya bervariasi. Divisi Litbang diketuai Adrian, lelaki berkacamata tebal yang memberikan aku foto untuk laporan saat rapat pertamaku di sini. Ada tiga anggota lain di Litbang. Di luar Adrian, lainnya belum pernah kutemui. Setidaknya sampai hari ini. Aku memang tidak pernah masuk menjelajah ruang-ruang kerja di dalam Posko. Aku bukan orang senggang atau semacam itu. Dan sepertinya orang-orang Litbang memang jarang datang ke Posko.

Selanjutnya ada divisi media dan propaganda. Ketuanya adalah Faruk. Ia lelaki yang menyenangkan. Aku cukup dekat dengannya. Sejak berkenalan dan membahas buku dan film di jeda membosankan pekerjaan kami, aku menjadi akrab dengannya. Faruk masih berstatus mahasiswa. Ia sedikit terlambat untuk wisuda. Faruk kuliah di Ilmu Komunikasi kampus yang jaraknya tidak jauh dari Posko. Itu adalah kampus negeri terbesar di provinsi ini. Banyak anggota TPGM yang juga alumni Ilmu Komunikasi. Mereka adalah rekan kuliah Faruk. Beberapa bahkan adalah adik tingkatnya. Namun sebagian besar dari mereka sudah wisuda lebih dulu daripada Faruk. Lelaki berambut ikal dan berkacamata ini terlambat karena aktivitasnya banyak di luar kampus. Ia adalah seorang aktivis sekaligus seniman fotografi. Ia banyak bergaul dengan mahasiswa dari Papua dan cukup peduli dengan diskriminasi yang mereka terima. Jika aku tidak salah, skripsinya juga terkait praktik pembingkaian media terhadap mahasiswa Papua. Aku cukup senang ada orang seperti dirinya di tempat ini sehingga aku tidak cepat bosan. Ia bisa dibilang seorang seniman yang punya karir cukup baik. Bidangnya adalah fotografi esai. Ia pernah diundang untuk pameran sampai ke Paris dan melakukan residensi di beberapa wilayah Indonesia. Faruk membawahi tiga orang yang tidak satu pun aku tahu namanya. Tetapi aku beberapa kali melihat mereka ketika nongkrong di berugak.

Divisi rumah tangga adalah divisi yang paling jarang kutemui. Aku tidak tahu siapa ketua dan siapa anggotanya. Aku hanya mengenal nama sepintas lewat dan aku tidak ingat. Katanya, ia sedang sakit. Apa sakitnya, tidak ada yang menjelaskan. Ironis bukan, kepala Divisi Rumah Tangga justru yang paling jarang muncul di Posko.

Selanjutnya ada Divisi Logistik. Divisi Logistik diketuai Angin. Ia lelaki yang ramah dan menyenangkan. Di luar Faruk, aku paling akrab sama Angin. Satu hal yang membuat aku sangat akrab dengannya adalah ia dengan terang-terangan mendukung pasangan calon lain dan kebetulan pasangan calon yang didukungnya itu pasangan calon yang aku dukung. Setidaknya sampai aku bekerja di posko ini, aku masih mendukungnya. Tentu saja aku tidak menunjukkannya. Angin beda lagi. Ia tidak menyembunyikannya. Sejak tahu ia mendukung calon presiden yang sama dengan yang aku dukung, kami jadi sering mengobrol. Selain karena keterbukaannya itu, aku senang karena Angin adalah sosok yang kerap menyapa siapa saja, dan ia tidak pernah kurang tersenyum kepada setiap orang yang ditemuinya. Ia membuat pekerjaanku di sini jadi sedikit menyenangkan. Anggota Divisi Logistik lebih banyak mahasiswa. Tugas mereka mengangkat barang-barang yang datang dan mendistribusikannya. Hanya sedikit yang bukan mahasiswa. Usia mereka terbilang muda. Aku hanya mengenal satu orang di divisi itu di luar Angin. Namanya Kibenk. Ia adik tingkat Angin dan katanya tidak lama lagi akan sidang skripsi.

Divisi terakhir adalah Divisi Lapangan. Divisi ini paling banyak anggotanya. Ia tidak berkantor di Posko disebabkan lebih banyak turun ke lapangan. Divisi ini diketuai Sunu. Posisi ini membuatnya menjadi koordinator para relawan lapangan di provinsi kami. Di bawah Koordinator Provinsi ada Koordinator Kabupaten yang tersebar di setiap kabupaten. Di bawah Koordinator Kabupaten ada Koordinator Kecamatan. Divisi ini hanya sampai kecamatan saja. Masing-masing Koordinator Kecamatan dibiarkan berkreasi sekreatif mungkin untuk membentuk tim kerja yang tersebar di desa dalam wilayahnya. Saat ini tim lapangan kami belum lengkap. Hanya ada Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Bima, dan Kota Bima. Itu pun tidak semua kecamatan punya koordinator dan kinerja mereka konon masih jauh dari ekspektasi. Sampai saat ini kami masih melakukan bongkar pasang muatan. Dua kabupaten dengan kinerja terbaik adalah Lombok Timur dan Lombok Tengah. Rupanya Muslim, pemuda yang kutemui di pasar murah Pringgabaya beberapa hari yang lalu, adalah koordinator Kabupaten Lombok Timur.

***

 

Hari ini koordinator Kabupaten Lombok Tengah akan datang membawa beberapa koordinator kecamatan yang bekerja di bawahnya untuk membahas temuan dan masalah mereka di lapangan. Kutil sedang kesal karena masalah yang aku tidak tahu apa, dan karena Sunu yang seharusnya memoderatori pertemuan ini belum datang juga, ia semakin kesal saja.

“Kamu saja yang moderatori pertemuan dengan anak-anak Lombok Tengah!” kata Kutil memerintahku.

Aku agak terkejut dengan tugas tambahan itu. Aku hendak menolaknya. Namun ia tidak memberi kesempatan buat aku untuk menolak. Ia langsung kembali ke ruangannya. Saat Kutil membuka pintu, aku melihat Bang Jamal menyusut di balik meja. Punggungnya melengkung malas dan matanya menatap lelah pada layar laptop di hadapannya. Ia menggaruk-garuk kepalanya. Tampak betul ia sedang mumet dan mungkin karena itu juga Kutil marah-marah. Hanya sebentar saja aku melihatnya karena Kutil segera menutup pintu. Sepertinya ada pembicaraan rahasia yang tidak boleh aku tahu.

Aku pun melangkah ke ruang tamu. Berbaring malas di sofa panjang menunggu tamu-tamu dari Lombok Tengah. Aku kesal dengan tugas tambahan yang tiba-tiba ini. Aku kesal karena sikap Kutil yang sok memerintah. Aku kesal karena segala tugas tambahan ini tidak pernah dibahas sebelumnya. Setidaknya jika ada kejelasan terkait apa yang akan kuterima dengan adanya tugas tambahan, aku mungkin tidak akan mempermasalahkannya. Apakah ini jenis kerja sukarela yang aku tidak tahu dan wajib dikerjakan? Seharusnya tidak. Kami relawan bukan pekerja sukarela. Memang benar aku seharusnya ada di rapat itu mendampingi Kutil, tetapi tugasku hanya sebagai notulen diskusi, bukan memoderatori rapat yang aku tidak mengerti pembahasannya.

Untuk menenangkan hatiku, aku memilih jalan-jalan ke luar Posko. Aku melangkah ke halaman dan kulihat enam orang sedang duduk minum kopi di berugak. Salah satunya adalah Angin. Ia memanggilku dan menawariku untuk mampir minum kopi. Angin bahkan menawarkan diri untuk memesankan kopi buatku. Aku menolak.

“Aku sudah ngopi,” kataku sesopan mungkin.

“Loh ngopi sih lagi,” balas Angin. “Mari saya pesankan,” tawarnya lagi.

“Tidak. Aku mau pesan es kelapa saja,” balasku.

Lihat selengkapnya