13 Desember 2023
Aku terpukul mendengar berita kecelakaan itu. Badanku langsung lemas. Otot-otot di tubuhku serasa kehilangan daya untuk menopang beban. Tidak ingin berbohong, aku berkata berita kecelakaan itu membuatku ketakutan. Sempat terlintas di kepalaku niatan untuk berhenti dari pekerjaan ini. Apalagi ketika itu teman-teman di Posko tidak henti-hentinya menjadikan kecelakaan itu sebagai bahan pembicaraan.
Ada begitu banyak spekulasi terkait penyebab kecelakaan. Ada yang berkata bahwa yang bersangkutan kelelahan karena di luar bekerja sebagai tukang tagih di sebuah perusahaan keuangan, ia juga bekerja sebagai koordinator kecamatan untuk TPGM. Ia adalah satu dari sedikit koordinator kecamatan yang paling rajin mengambil APK di Posko. Namun, laporannya aku dapatkan bermasalah. Ia jarang sekali membuat laporan kegiatan. Alasannya sibuk kerja atau tidak sempat atau apalah. Sekalinya ada, laporannya berupa distribusi langsung ke relawan lain. Sekali melakukan distribusi APK, ia bisa mendistribusikan 150 kaus, 250 korek, dan 400 kalender kepada satu orang yang ia sebut sebagai tokoh masyarakat. Dan distribusi model ini, paling sering dilakukannya. Alasannya, ia terlalu sibuk dan tidak bisa mengunjungi beberapa titik sekaligus, oleh karena itu ia meminta seseorang yang punya cukup massa untuk mendistribusikannya. Namun, fakta yang kami temui di lapangan APK itu tidak pernah disebar. Cerita itu kudapat dari beberapa orang. Dan sepertinya cerita itu memang benar. Hampir tidak pernah aku temui orang yang menggunakan kaus Ganjar-Mahfud di Mataram. Ke mana ribuan kaus yang sudah terdistribusi itu?
Kegelisahanku terkait distribusi APK ini beberapa waktu lalu aku lontarkan pada Sunu dan Umbu 1. Sunu hanya menggeleng. Umbu 1 agak tidak terima karena merasa pertanyaanku tendensius. Ia mengatakan sesuatu yang terasa seperti pembelaan diri:
“Kaus itu tidak pas untuk orang Mataram. Modelnya jelek dan bahannya panas. Tidak enak dipakai,” ujarnya.
Itu bukan alasan, balasku.
Ia membalas sedikit keras. “Bung meragukan kami?” tanyanya. Aku bergeming. “Kami sudah melakukan distribusi. Teman-teman di Mataram semuanya sudah berusaha,” lanjutnya menjelaskan.
“Terus kenapa nggak ada kegiatan? Kenapa laporan kinerja yang masuk malah seperti ini?” balasku.
Aku kemudian memperlihatkan laporan kegiatan yang hampir tidak ada. Aku juga membandingkan dengan kegiatan teman-teman di Lombok Tengah dan Lombok Timur.
“Lihat teman-teman di Lombok Tengah dan Lombok Timur. Mereka menggunakan kaus Ganjar di hampir semua kegiatan,” lanjutku.
Aku sebenarnya tidak ingin membanding-bandingkan hal ini, tetapi aku jadi gatal karena Umbu 1 tidak mau disalahkan. Aku pun menyodorkan telepon pintarku guna memperlihatkan dokumentasi seorang Koordinator Kecamatan Praya Timur yang merekam aktivitas para petani yang menggunakan kaus Ganjar-Mahfud untuk menanam padi di sawah.
“Itu masalahnya, Bung. Mereka kan orang-orang desa,” balas Umbu 1. “Baju itu tidak masalah buat mereka. Tapi baju itu tidak pas untuk selera anak Mataram. Tahulah Bung bagaimana anak muda Mataram. Coba desainnya sedikit lebih bagus. Pasti mereka mau pakai.”
Aku tidak membantah terkait desain yang memang norak dan tidak enak dipandang itu. Memang benar kata Umbu 1, desainnya jauh dari kata menarik. Di luar bahannya yang kurang bagus, kaus itu dipenuhi wajah pasangan calon yang kami dukung. Hanya seperti foto wajah ditempelkan ke kaus putih polos. Aku juga sempat mempertanyakan ini ke Kutil, kenapa kita tidak meniru desain Tim Sembilan. Tim Sembilan adalah gerbong lain yang bekerja untuk Ganjar-Mahfud di NTB. Aku pernah melihat rupa kaus yang mereka distribusikan. Kaus itu berwarna hitam dengan desain minimalis. Hanya simbol tiga jari dengan tambahan tulisan Sat-Set atau Tas-Tes menempel pada bagian dada. Kalau yang seperti itu mungkin akan lebih menyenangkan buat dipakai. Aku pun mungkin akan mau memakainya. Apalagi bahannya bagus dan desainnya tidak ketinggalan zaman. Tidak seperti kaus yang kami distribusikan, yang tiada bedanya seperti kaus partai sejak masa Orde Baru masih berupa embrio.
Kutil mengelak. Ia berkata mereka cuma cari alasan untuk membenarkan kemalasan mereka.
Tentu saja aku tidak menyampaikan apa yang dikatakan Kutil ke Umbu 1 dan rekan-rekannya. Aku bilang saja kalau kesulitan mereka itu datang karena mereka salah sasaran. “Mungkin memang sasaran kalian yang keliru,” ujarku. “Kamu kan nggak harus mendistribusikan ke gen Z atau anak muda Mataram. Kalau kamu distribusikan ke orang yang tepat, orang yang memerlukan pakaian sebagaimana fungsi pakaian, orang itu pasti mau menerimanya. Mereka akan menerimanya dengan penuh rasa terima kasih. Ada banyak tukang parkir, tukang bangunan, pemulung, atau orang-orang kecil yang akan berterima kasih mendapat tambahan kaus.”
Setelah aku menegur laporan para koordinator kecamatan sekota Mataram, tidak banyak perkembangan. Laporan mereka masih sepi juga. Hanya Koordinator Kecamatan Cakranegara itu saja yang sesekali masih mengirim laporan. Tapi setelah diselidiki, laporan orang itu lebih banyak tidak benar. Akulah yang pertama kali menemukan kejanggalan dari laporan-laporannya itu dan mencocokkan dengan laporan Angin di logistik, sebelum kemudian melaporkannya ke Kutil. Apakah peristiwa kecelakaan itu terjadi karena laporanku?
Aku bertanya-tanya dan pertanyaan-pertanyaan itu memakan habis diriku.
14 Desember 2023
Aku terus memikirkan koordinator kecamatan Cakranegara itu. Hanya sekali aku bertemu dengannya, ketika masa penggajian, tetapi aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana rupa wajahnya. Wajah itu terus membayangiku dan mengganggu tidurku tadi malam. Aku bermimpi lelaki itu tidak akan bangun lagi dan seorang perempuan menangisinya. Perempuan itu adalah istriku. Lalu lelaki yang terbaring di ranjang rumah sakit dan diumumkan meninggal itu rupanya adalah diriku. Aku terbangun dengan perasaan ngeri karena mimpi itu terasa benar-benar nyata.
Aku berusaha melupakan mimpiku dan menenggelamkan diri pada pekerjaan. Hari ini aku diminta Kutil untuk mengumumkan nama-nama yang akan menerima gaji besok. Ia memintaku untuk menyusun jadwal dengan jeda satu jam untuk tiap kabupaten atau kota. Kutil juga memintaku untuk hadir di saat penggajian dan sekalian memberikan evaluasi kinerja atas mereka.
“Kamu hadir besok?” tanyaku pada Kutil.
“Tentu saja,” kata Kutil. Namun, belum lama mengatakan itu, Kutil menggeleng “Aku baru ingat besok harus jemput tamu di Bandara.”
Kutil kemudian pamit pulang lebih dulu. Belum jauh melangkah, ia menoleh. “Ajak Sunu. Kalau dia tidak datang, kamu yang ambil alih. Biar kita pecat saja anak itu!”