Margin

Aliurridha
Chapter #14

Margin #14

16 Desember 2023

Kutil memintaku mengantarkan gaji Ahmad, Koordinator Cakranegara, yang saat ini tengah dirawat di Rumah Sakit Kota. Aku kaget melihat tebalnya amplop itu. Rasanya jauh lebih tebal daripada gaji teman-teman koordinator kecamatan lainnya. Ini pasti bukan hanya gaji. Aku sempat ingin menanyakan itu ke Kutil, tetapi kuduga ia tidak akan menjawabnya. Kuanggap saja kelebihan itu sebagai uang santunan atau semacam itu. “Bawa sesuatu juga. Jangan datang kosongan,” kata Kutil. Aku tahu, balasku. Disangkanya aku tidak mengerti tata krama oleh bedebah ini. Kutil kemudian mengeluarkan dompetnya. Dua lembar ratusan. “Terserah kamu mau beli apa, sisanya buat kamu saja,” kata Kutil. Murah hati betul bos kita ini, kataku dalam hati. Sepertinya suasana hatinya sedang baik.

Aku tidak mungkin datang sendiri. Karena itu aku mengajak serta Sunu dan Umbu 1. Sunu berkata ia tidak bisa. Bedebah itu selalu tidak bisa. Ia berkata tidak bisa karena sedang ada kegiatan dengan relawan gerbong sebelah, membahas strategi pemenangan untuk Ganjar. Ia juga mohon izin karena kemungkinan minggu depan, ia akan ke Jakarta bersama mereka. Aku pun mengizinkan sepanjang ia tetap membantu memperbaiki laporan teman-teman di lapangan karena masih banyak juga yang tidak beres laporannya, bahkan setelah aku membuatkan format penulisan. Sunu menyanggupi. Aku sudah berniat datang sendiri, beruntung Umbu 1 bisa ikut. Katanya, tidak lama lagi ia akan meluncur ke Posko. Ia sepertinya lelaki yang tepat waktu. Tidak lama dari waktu yang dijanjikan ia datang, dan sesuai dugaanku, ia tidak datang sendiri. Jika ada Umbu 1, pasti ada Umbu 2 di sebelahnya.

Dari Sunu aku dengar Umbu 1 dan Umbu 2 masih saudara sepupu. Wajah mereka tidak terlalu mirip. Bahkan aku tidak pernah melihat wajah yang begitu berbeda untuk dua orang yang memiliki pertalian darah. Umbu 1 berwajah tirus disebabkan postur tubuhnya yang kurus. Ia juga sedikit bungkuk. Kulitnya sawo kelewat matang dengan rambut keriting-keriting kecil. Wajahnya dipenuhi jenggot yang tebal. Umbu 2 terlihat jauh lebih berisi. Ia punya rahang yang lebar seperti orang yang sering mengerjakan pekerjaan berat. Kecuali itu, matanya terlihat seperti orang yang baru bangun tidur atau selalu mengantuk. Itu membuat ia terkesan sebagai orang malas. Kulit tubuhnya jauh lebih daripada Umbu 1. Kulitnya bahkan seputih warga keturunan Tionghoa. Ia berkulit kuning langsat. Kulitnya terlihat lebih menyerupai orang Asia Timur. Melihat warna kulitnya itu, aku menduga-duga Umbu 2 selalu bermain petak umpat dengan matahari. Meski berkulit seperti orang Asia timur, rambutnya tidak lurus. Rambutnya yang bergelombang itu dicukur cepak, membuat ia sekilas terlihat seperti tentara.

Begitu mereka datang, aku lantas menyindir kebersamaan mereka yang menurutku melebihi keromantisan sepasang kekasih. “Kalian luar biasa akur, ya. Ke mana-mana selalu bersama. Seperti sepasang kekasih saja,” ujarku mengolok-olok.

Umbu 1 dan Umbu 2 tertawa.

“Ah, ketua bisa saja,” balas Umbu 1.

“Tapi benar, aku penasaran, kalian kok bisa seakur itu?”

“Sebenarnya kami ini tidak akur, Ketua (aku tidak tahu sejak kapan Umbu 1 mulai memanggilku Ketua). Saya sama dia ini tidak cocok. Kami ini nyaris tidak pernah bicara di kontrakan.”

“Kalian satu kontrakan?” tanyaku basa-basi.

“Iya, kami bareng sama teman-teman dari Sumba lainnya.”

“Di mana kontrakan kalian?”

“Di Selaparang. Belakang Gereja.”

Aku mengangguk-angguk.

“Kalau tidak cocok kenapa kalian ke mana-mana selalu bersama?”

“Ah, sebenarnya tidak seperti itu, Ketua. Kami tidak ke mana-mana bersama. Hanya yang ada urusannya dengan TPGM saja. Kalau tidak urusan TPGM, sudah saya tinggal anak ini di rumah.”

“Saya juga tidak mau kalau pergi sama dia, Ketua,” kata Umbu 2 menimpali. “Yunus ini seperti kelelawar. Dia keluar malam saat saya tidur. Dia pulang saat saya bangun.”

Aku tertawa. “Terus bagaimana kalian bisa bersama sekarang kalau jam tidur kalian berbeda.”

“Demi TPGM kami bisa sama-sama, Ketua. Demi TPGM saya rela jalan sama dia,” lanjut Umbu 1.

“Wah mulia sekali kamu,” balasku sinis.

“Ya, mau bagaimana itu, Ketua. Landu ini tidak bisa naik motor,” kata Umbu 1.

Umbu 2 hanya senyum-senyum.

Aku pun bertanya apakah mereka pernah menjenguk Ahmad sebelumnya. Umbu 1 mengangguk, Umbu 2 menggeleng. Umbu 2 terlihat kaget. Ia tidak tahu ternyata Umbu 1 pernah menjenguk Ahmad sebelumnya. “Baguslah. Kita tidak perlu repot-repot cari ruangannya,” ujarku singkat. Setelah itu kami berangkat bersama dari Posko.

 

Memasuki rumah sakit, hidungku ditusuk bau karbol. Aku selalu membenci bau ini. Setiap menciumnya perutku seperti ditendang dari dalam. Asam lambungku naik ke kerongkongan dan kepalaku menjadi pening. Aku membenci rumah sakit karena hal itu. Apalagi rumah sakit ini, lantainya sedikit licin. Kesan yang aku tangkap rumah sakit ini jarang dibersihkan. Aku heran mengapa lantai di rumah sakit ini selalu licin. Padahal saat itu aku melihat seorang tukang sapu sedang menyapu lantai tidak jauh dari tempat aku berdiri. Orang-orang berlalu lalang, sedikit bergegas di sekitarnya, dan tidak sekalipun mereka menganggap dirinya ada. Namun, ia terus bekerja dan bekerja, tetapi pekerjaannya itu tidak terasa, seperti juga eksistensinya.

Umbu 1 menunjuk ke arah lorong menuju ke lift. Tempatnya di lantai empat, katanya. Lebih baik naik lift saja.

Lihat selengkapnya