19 Desember 2023
Lima orang dari Jakarta itu akhirnya tiba. Aku tidak bertemu mereka secara langsung, tetapi aku mendengar dari teman-teman di Posko bahwa mereka sudah datang. Aku sedang mengambil hari libur. Ketika aku menyebut libur, yang aku maksud tidak benar-benar libur bekerja, hanya libur yang berarti tidak datang ke Posko. Aku masih tetap bekerja, masih harus merapikan laporan-laporan. Sunu sekarang sedang dalam perjalanan menuju Jakarta. Ia meninggalkan aku dengan tumpukan pekerjaan. Ketika aku bertanya kenapa ia membiarkan laporan-laporan itu menumpuk sehingga kerjaku jadi dua kali lipat, ia berkata baterai teleponnya habis atau tidak ada sinyal atau alasan-alasan lainnya.
Aku mulai berpikir ada baiknya membuang benalu yang bersemayam di dalam tubuhku.
20 Desember 2023
Laporan kegiatan semakin ramai saja. Aku kewalahan merapikannya seorang diri. Itu membuat aku lagi-lagi tidak bisa datang ke Posko. Kepalaku semakin sering pening. Rasanya seperti ada ribuan lebah berdengung di dalamnya. Kadang aku merasa ada yang menyengat, dan begitu sengatan itu datang, sakitnya bukan main. Biasanya sengatan itu datang setiap bunyi notifikasi masuk. Setiap bunyi notifikasi datang, aku memaki-maki Sunu. Aku butuh tenaga tambahan. Aku memikirkan beberapa nama di kepalaku.
Hari itu aku muntah untuk kedua kalinya.
21 Desember 2023
Aku tidak pernah menyangka hari itu akan mengalami musibah sedemikian rupa. Saat itu kami sedang mengunjungi Pasar Murah yang diadakan di sebuah desa yang terletak di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Ketika aku bilang kami, yang aku maksud adalah Kutil, aku, dan Paman. Sebenarnya Sunu juga harus ikut. Kutil sudah menghubunginya beberapa kali dan tidak bisa tersambung. Ia tidak tahu Sunu sedang di Jakarta. “Apa dia kerjakan anak sialan itu di Jakarta?” tanya Kutil marah-marah. Aku pun menjelaskan apa yang mungkin dikerjakan Sunu. Kutil semakin marah mendengarnya. “Kalau bukan karena dia ketua GMNI Mataram, sudah saya pecat dia!”
Aku tidak menanggapi dan masih sibuk merapikan laporan-laporan. Ada begitu banyak laporan dan aku kewalahan. Aku masih mengerjakan laporan-laporan kemarin yang, karena saking membludaknya, tidak bisa memperbaikinya seorang diri, hingga harus kukerjakan hari ini dengan mengganti tanggal kegiatannya. Begitu laporan-laporan itu kukirim, aku mengeluh ke Kutil. Aku berkata butuh tenaga tambahan. Jika tidak, aku akan kesusahan untuk terus ikut tur lapangan. Kutil menimbang-nimbang apa yang kukatakan.
“Kamu rekrut saja staf biar nggak terlalu repot,” saran Kutil.
“Lantas Sunu bagaimana?” tanyaku.
“Biarkan saja. Dia tetap staf kamu. Nanti kita potong saja gajinya kalau masih malas seperti sekarang.”
Setelah mengatakan itu aku merasa lega. Aku bisa mencari tambahan tenaga. Ternyata Kutil tidak sepelit yang aku duga.
Kutil kemudian menambahkan. “Sekiranya kamu punya hal untuk disampaikan terkait pekerjaan, katakan saja. Atau kamu punya ide untuk program yang kira-kira bagus, katakan saja.”
***
Pasar murah di Pujut sangat ramai. Belum juga dimulai orang-orang sudah berkumpul di sekitar ruko yang disewa untuk kegiatan pasar murah. Keramaian itu mengundang tamu tak yang diundang datang. Panwaslu Kecamatan Pujut mendatangi acara kami. Andi Calo, Koordinator Kecamatan Pujut, mendatangi kami yang saat itu sedang makan siang, menunggu acara di mulai, tidak jauh dari lokasi acara, kurang dari 200 langkah dari tempat acara. Andi memohon instruksi Kutil untuk mengatasi masalah ini.
“Bawa ke tempat sepi. Belikan rokok dan kasih amplop. Selesai masalahnya!” kata Kutil kesal. Kutil kesal karena waktu makannya jadi terganggu.
Andi Calo tidak bergerak. Ia masih diam di sana. Wajahnya masih menunjukkan wajah susah seperti yang biasa ia tunjukkan. Ia memang tidak pernah tidak berwajah susah. Pertama kali aku bertemu dengannya di Posko, aku sudah tertarik dengan wajahnya yang selalu tampak susah itu. Dulu aku mengira ia bukan koordinator kecamatan, aku menyangka Andi Calo bekerja di Posko karena ia sering sekali berada di sana. Lalu karena wajahnya yang selalu terlihat susah itu, aku menyangka dirinyalah adik Rani. Aku juga menyangka kejadian yang menimpa Rani itulah sebab wajahnya selalu susah. Ia tidak seperti adik Rani yang tolol itu. Bocah itu bukan hanya baik-baik saja, ia malah terlihat menjadi anak yang paling berbahagia di dunia. Mungkin memang seperti itu, kebodohan adalah sumber kebahagiaan!
“Anu, sebenarnya sudah ada tadi pagi juga datang. Saya kasih uangnya saya, Bang. Bukan uang saya, maksudnya uang yang saya pinjam dari teman.”
Kutil menghentikan makan. Ia menoleh menatap wajah Andi Calo. “Uang kemarin buat sewa ruko dan persiapan itu sudah habis?” tanya Kutil.
“Sampun, Bang. Maaf,” kata Geger.
Aku berusaha menahan diri untuk tidak memberikan tisu kepada Andi Calo. Matanya yang berkaca-kaca itu semakin mengilat oleh terpaan sinar matahari.
“Ini,” kata Kutil menyerahkan uang dua ratus ribu.
Setelah Andi Calo pergi, Kutil mengeluh. “Anak itu saya pikir paling rajin. Dia hampir tiap hari datang ke Posko. Bahkan dia jauh lebih rajin dari Fadli,” Kutil menyebut nama Koordinator Kabupaten Lombok Tengah, “makanya saya percayakan dia yang pimpin pasar murah ini. Saya suruh dia buat RAB untuk pasar murah, eh dengan tololnya dia melewati banyak hal penting. Ada yang tidak tercatat di RAB seperti upah orang-orang yang membantu dia hari ini. Untung saya kasih lebih kemarin. Tapi itu masih juga tidak cukup. Padahal sudah saya bilang lebihkan sedikit buat kalian kalau ada program biar tidak minta-minta lagi di Posko kalau nanti kurang. Kita yang ribet kalau kurang. Kalau anggaran sudah diajukan ke Pusat, itu artinya sudah tidak bisa diubah lagi. Begitu sudah anak-anak ini, kalau dia rajin kerja, urusan administratif mereka dungu. Kalau kerja administratif mereka bisa, sudah pasti mereka malas.”
“Seperti Sunu,” kataku.
“Ya, seperti Sunu,” ulang Kutil.
Selesai makan kami duduk di depan warung. Kutil dan Paman merokok. Aku bersantai dengan melanjutkan membaca novel Murakami yang bahkan belum juga lewat seperempat bagian.