22 Desember 2023
Sunu masih susah dihubungi. Hari ini ia berkata akan pulang dari Jakarta. Kapan ia akan tiba, aku tidak tahu. Apakah ia akan tiba atau tidak, aku tidak lagi peduli. Aku sudah menghubungi kawanku. Ia seorang penulis. Ia tidak terlalu dikenal orang. Kira-kira jika dibandingkan denganku, ia agak kurang dikenal. Sebagai penulis, aku masih sedikit lebih terkenal daripada dia. Sedikit lebih terkenal, bukan berarti lebih punya uang. Aku tetap susah keuangan. Sebenarnya ia juga susah. Malah kalau urusan susah, mungkin ia lebih susah daripada aku. Aku tahu susah tidak perlu dibandingkan, tetapi membandingkan kesusahan membuat kita lebih bersyukur. Ternyata masih banyak orang yang lebih susah daripada kita.
Aku mempekerjakan kawanku untuk merapikan laporan-laporan yang memuakkan itu. Untuk sementara ini dia akan membantuku mengurus laporan agar aku bisa fokus pada pekerjaan-pekerjaan lain yang diperintahkan Kutil. Aku pun mulai membaca laporan anak-anak itu sejak hari-hari sebelum aku menjadi koordinator wilayah. Aku mengecek kuantitas dan kualitas laporan para relawan. Aku bisa menilai sebagian besar dari laporan mereka meragukan. Bahkan ada juga koordinator kecamatan yang tidak punya satu pun laporan kegiatan. Aku lantas membuat daftar untuk melakukan evaluasi bersama para koordinator kabupaten dan kota.
Bandit masih saja datang ke Posko. Setiap hari ia datang tanpa libur. Ia datang untuk menagih gaji anak buahnya. Kutil menghubungiku. “Itu anak buahmu diurus. Apa dia tidak kerja? Laporan anak buahnya macet semua,” kata Kutil lewat telepon. Ia juga menjelaskan ada sedikit pekerjaan yang perlu kulakukan terkait acara nonton bareng debat cawapres nanti malam. Aku pun terpaksa datang ke Posko. Padahal hari ini aku tidak berniat datang. Aku ingin mengambil hari libur setelah kejadian kemarin. Rasanya energiku habis terkuras. Anak-anak Jakarta yang datang terlambat itu cukup terkejut dengan kejadian kemarin. Mereka menyayangkan kecerobohan Andi Calo. Kutil mengatakan kepada mereka itu bukan masalah. Semua sudah ditangani. Yang orang-orang itu lakukan sekadar menggertak saja, tidak perlu dihebohkan. Saat Kutil menjelaskan situasinya kemarin, seseorang bertubuh kurus dan berkacamata dengan wajah selalu pucat kulihat mengetikkan sesuatu di ponselnya. Aku pikir ia sedang mencatat kejadian yang kami alami dan melaporkannya ke Pusat.
Sule yang merupakan pimpinan mereka mengingatkan Kutil untuk lebih berhati-hati. Jangan sampai kejadian ini terjadi kedua kali. Jangan sampai ada peluang buat lawan untuk menginjak kepala kita. “Mereka punya segala instrumen untuk melakukan itu, karena itu kita harus lebih hati-hati bertindak,” jelas Sule.
Kutil tidak berkata apa-apa. Tidak biasanya ia diam mendengar orang banyak bicara di depannya. Sepertinya Kutil lebih takut kepada Sule ketimbang kepada Bawaslu. Entah itu benaran takut atau hanya perasaanku, atau mungkin ia takut karena Sule bisa melaporkan sesuatu yang menjadi bahan penilaian Pusat. “Keteledoran seperti ini tidak boleh terulang,” tutup Sule.
Setelah itu mereka pulang. Mereka pulang tidak lama setelah orang-orang dari Bawaslu provinsi meninggalkan lokasi. Mereka melewati kami yang saat itu tengah duduk di bawah pohon ketapang rindang di depan sebuah ruko. Kutil dan Kadek sempat saling pandang. Tatapan mata perempuan itu seolah berkata, “Aku memperhatikanmu bocah. Tunggu saja!” Sule dan kawan-kawannya memilih untuk balik badan seolah tidak ingin wajah mereka tertangkap orang-orang itu.
Di Posko aku melihat Bandit sedang berkumpul dengan Angin dan teman-teman logistik. Mereka tampaknya sedang menggoda Bandit yang tidak henti-hentinya membual. Demi bisa mendengar bualan Bandit, aku bergabung. Bandit berkata Ganjar unggul jauh di kota Bima. Semua itu berkat kerja dia dan timnya. Ia berkata ada rilis survei baru-baru ini yang memperlihatkan kemenangan Ganjar sebesar 60 persen.
“Wuih betulan 60 persen?” tanya Angin menggoda.
“Betul. Masak saya bohong.”
“Kapan rilis survei itu?” tanya Kibenk.
“Belum lama ini. Sekitar seminggu atau dua minggu.”
Paman rupanya tertarik mendengar percakapan Bandit dengan anak-anak logistik. Ia datang ke berugak.
“Siapa lembaganya?” tanya Paman.
“Aduh, siapa itu kemarin nama lembaganya. Lupa saya.”
“Ada kamu punya kan rilisnya. Coba lihat?” tanya Angin.
“Nah, itu masalahnya. HP saya ini baru. HP yang kemarin rusak. Tidak ada di HP yang ini.”
“Ah, bohong kamu,” kata Paman terkekeh.
“Serius ini. Buat apa saya bohong. Rugi sekali.”
Aku yang tidak senang mendengar bualan Bandit, bertanya kenapa ia masih di sini.
“Dinda sedang tunggu keluar gaji teman-teman itu, Bang. Biar tidak bolak-balik. Kebetulan Dinda juga sedang tunggu Bang Juki. Malam ini Bang Juki tiba di Mataram.”
“Anak buahmu sudah berapa hari ini belum kirim laporan. Kalau kamu di sini, siapa yang mengontrol mereka?”
“Ah, begitu kamu bilang Ganjar menang di Bima,” kata Paman lanjut mengolok-olok.
Kibenk dan Angin tertawa.
“Eh, serius Dinda ini. Kenapa kalian itu tidak ada yang percaya? Solid tim kami di Bima. Kami kerja sama dengan relawan-relawan lain.”