24 Desember 2023
Aku terus memikirkan apa yang dikatakan Juki kemarin. Kenapa Bandit dan Juki tidak mau mengatakannya? Apakah itu sebuah rahasia yang tidak boleh ditahu olehku? Meski aku tidak benar-benar tahu siapa sebenarnya orang di atas Kutil, aku bisa menduga-duga siapa mereka. Jika melihat bagaimana mereka mampu mengetahui adik ipar Tama, ketika bocah tolol itu mengunggah konten gobloknya, padahal mereka tidak tahu hubungan anak itu dengan orang-orang di Posko, aku menduga, mereka pasti orang-orang yang punya perangkat untuk mengetahui itu. Mereka pastilah kelompok yang berasal dari kubu pemerintahan sendiri. Hanya orang-orang itu yang mungkin punya instrumen untuk memantau pergerakan kami di dunia nyata tanpa perlu berada di dekat kami.
Atau mungkin mereka selalu berada di dekat kami?
Aku berusaha untuk tidak terus memikirkan siapa mereka. Aku berusaha untuk tidak memikirkan apa yang dikatakan Juki. Aku berusaha untuk tidak memikirkan apa-apa. Namun, semakin aku berusaha, aku malah semakin memikirkannya. Bukannya berhenti memikirkannya, pikiran itu semakin menjadi-jadi bercokol di dalam kepalaku. Kupikir ada baiknya aku fokus mengerjakan hal-hal yang penting saja. Itu bukan urusanku. Sepanjang mereka menggajiku, dan sepanjang aku tidak macam-macam, harusnya tidak ada masalah yang menimpaku. Ya, tidak akan masalah, kataku dalam hati meyakinkan diriku. Sekarang aku hanya perlu menyerahkan temuan ini ke Kutil.
Kutil tidak terlalu terkejut dengan temuan ini. Ia hanya berkata satu kalimat sederhana, “Potong saja gaji mereka.” Sudah, itu saja. Aku bingung, kenapa ia membiarkan perbuatan ini lolos begitu saja? Bukannya ini temuan penting yang perlu dipertimbangkan. Mungkin juga perlu dilaporkan ke atasan. Namun, kenapa ia malah menanggapinya dengan santai dan malas seperti itu. Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Kutil.
Bandit menghubungiku lagi. Ia masih saja menanyakan gaji anak buahnya. Juki, tidak lama setelah Bandit, mungkin sekitar tiga atau empat menit, menghubungiku menanyakan hal yang sama. Sepertinya mereka memang telah janjian untuk menanyakan ini kepadaku. Padahal aku sudah bilang ke mereka, sesuai apa yang dikatakan Kutil, gaji itu baru akan datang di tanggal 25. Aku pun menyampaikan pertanyaan—lebih tepatnya desakkan dari dua orang itu—ke Kutil.
“Bilang saja sama mereka nanti malam datang ke Posko,” ujar Kutil.
“Eh, serius?” tanyaku tidak percaya.
“Iya. Biar mereka nggak terlalu lama di sini. Nggak ada gunanya juga mereka di sini. Kerja tidak, malah ngerecokin kita saja. Nanti kita evaluasi sekaligus potong gaji mereka. Kamu bisa kan menghitung performa mereka. Nanti kamu gaji mereka berdasarkan hitung-hitunganmu. Saya serahkan ke kamu.”
Aku mengangguk.
“Oke. Lanjutkan. Nanti kabarin kalau sudah selesai. Saya hubungi Bang Jamal dulu.”
Kutil menelepon Bang Jamal memintanya datang ke Posko untuk membawa uang gaji anak-anak itu. Setelah itu Kutil pamit. Begitu aku tanya ia hendak ke mana, ia bilang ada pertemuan. Ketika aku bertanya pertemuan apa dan perlukah aku hadir di sana, ia berkata: tidak perlu. Aku mengerti, berarti ini pertemuan rahasia yang tidak perlu masuk laporan.
Tidak lama setelah Kutil pergi, Sunu datang. Dengan sedikit basa-basi dan meminta maaf, dia menemuiku. Aku malas menanggapinya. Ia bertanya apa yang bisa kubantu. Segera saja aku memanfaatkan situasi itu. Aku menjelaskan kondisinya, dan ia menjadi orang yang paling kesal mendengarnya. Ia bahkan terdengar jauh lebih kesal daripada aku ketika menceritakan itu ke Kutil. Aku tidak tahu apakah ia benar-benar kesal atau itu hanya sebuah kepura-puraan untuk menyenangkan hatiku saja. Aku pun bertanya, bukannya mereka itu orang-orangmu.
“Bukan, Bang. Mereka itu dari jaringannya Bang Nabil,” kata Sunu.
“Benarkah? Selama ini saya pikir mereka itu orang-orangmu.”
“Bukan, Bang. Sebenarnya cuma sedikit sekali jaringan saya di TPGM ini. Hanya Mataram dan Lobar. Terus sebagian besar juga sudah dicopot,” jelas Sunu.
Aku merasa tersinggung karena sebagian besar orang-orangnya Sunu itu aku yang mencopotnya. Tapi mungkin juga ia tidak bermaksud seperti itu, hanya aku terlalu sensitif saja.
“Bagaimana, kamu bisa bantu aku mengerjakannya?” tanyaku.
Sunu menunjukkan jempol kanannya.
Setelah mengambil uang dari Bang Jamal, aku meminta Bandit dan Juki untuk segera merapat ke Posko. Sunu menemaniku menjelaskan kenapa gaji anak-anak buah mereka harus dipotong. Sebenarnya anak-anak yang tidak punya laporan atau hanya punya jumlah laporan di bawah lima, tidak akan kuberikan gaji, namun Kutil berkata, berikan saja. Kasih seminimal mungkin. Buatku, minimal itu berarti tidak ada gaji sama sekali, namun buat Kutil tidak begitu. Tetap harus ada gaji. Tidak boleh tidak ada. Kemudian aku menyebut nominal. Kutil berkata, itu terlalu sedikit. Setidaknya berikan mereka satu juta. Aku terkejut. Itu tidak minimal menurutku. Memang itu kurang dari sepertiga gaji mereka yang sebenarnya, tetapi tetap saja itu terlalu banyak untuk orang yang tidak bekerja. Aku tidak mengerti kenapa Kutil bisa bermurah hati seperti itu kepada mereka. Seperti bukan Kutil saja.
Aku menjelaskan kepada Bandit dan Juki terkait gaji anak buahnya yang aku potong. Aku juga memberikan ancaman jika hal yang seperti itu berulang lagi, giliran gaji mereka yang kena potong. Kemudian, tidak lupa aku menegaskan jika mereka masih melakukan apa yang telah mereka lakukan, tidak mendistribusikan APK dan membiarkan APK itu hilang tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas, aku akan melaporkan apa yang mereka lakukan ke atas. Mereka kecut mendengar apa yang kukatakan, tetapi mereka bisa memahaminya. Sekali lagi mereka meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya.
Entah kenapa, aku ragu mereka tidak akan mengulanginya lagi.
Sisa uang gaji untuk anak-anak itu cukup banyak. Aku mengajak Sunu ke ruang manajemen untuk mengembalikan gaji itu. Aku tidak tahu kenapa aku mengajak Sunu, mungkin karena aku ingin ia melihat aku benar-benar mengembalikan uang itu. Aku tidak ingin itu jadi omongan.