Margin

Aliurridha
Chapter #19

Margin #19

11 Januari 2024

Tama meminta tolong kepadaku untuk memata-matai Kutil. Ia merasa Kutil tidak komit lagi dengan kontrak perjanjian mereka. Aku bertanya seperti apa kontrak perjanjian mereka. Tama tampak berusaha untuk menghindari banyak hal ketika cerita. Tidak banyak yang ia ceritakan kecuali dugaan Kutil mencoba menguasai segalanya sendiri. Aku menduga-duga ini pasti berurusan dengan uang. Karena kecurigaannya itu ia meminta tolong kepadaku, yang menurutnya dekat dengan Kutil, untuk memperhatikan segala yang dikerjakan Kutil. Ia ingin tahu berapa sebenarnya nominal yang masuk dan berapa nominal yang keluar. Menurutnya, akhir-akhir ini Kutil lebih sering mengerjakan laporan pertanggungjawaban sendiri. Sepertinya itu tidak keliru. Beberapa kali aku melihat Kutil sendirian di ruang manajemen. Ia mencetak berkas laporan pertanggung jawaban sendirian. Buat apa dia melakukannya? Biasanya itu pekerjaan Bang Jamal.

Aku tidak langsung menanggapi permintaan Tama. Melihat reaksiku yang seperti itu, Tama berkata, ia berjanji untuk tidak akan membiarkan aku kena masalah. “Saya orangnya setia kawan. Kepada kawan, saya tidak akan ragu membantu,” ujarnya. “Mas Ulil tidak usah khawatir. Saya tidak akan melupakan teman.” Dua kali Tama menyebut aku teman. Aku senang sekali mendengar Tama menyebut kata itu. Aku sempat merasa besar kepala karenanya. Ia adalah sosok pengusaha sukses. Praktisi politik yang juga cukup dikenal. Setidaknya untuk tingkat lokal, ia cukup diperhitungkan. Apalagi usianya masih muda. Jika aku dekat dengannya, aku mungkin bisa menyambung nyawa pasca pemilihan. Aku perlu pegangan lain di luar menulis. Tetapi apakah aku harus mengkhianati kawanku sendiri untuk mendapatkan kawan baru? Aku tidak sanggup membayangkannya. Tidak pernah sekalipun aku kepikiran untuk menusuk teman dari belakang. Tapi apakah Kutil benar-benar menganggaku teman?

Aku bertanya-tanya dalam hati dan aku tidak menemukan jawabannya.

 

14 Januari 2024

Kutil tiba-tiba menawari aku proyek. Ia bertanya apakah aku tidak tertarik mendapat penghasilan tambahan. “Jangan khawatir. Ini bukan kejahatan atau seperti yang kamu pikirkan,” ujar Kutil. Aku ingin bertanya kenapa ia berpikir aku sedang memikirkan itu, tetapi aku tidak jadi menanyakannya. Kutil lebih dulu menjelaskan program yang ia ingin aku mengurusnya. Ia meminta aku mengurus spanduk untuk warung dan bendera untuk pendukung Ganjar. Aku kebingungan, bagaimana bisa aku melakukannya, sedang pekerjaanku begitu banyak.

“Astaga.... kamu ini kok tidak kreatif. Kamu penulis tapi tidak kreatif. Pikirkan dong caranya!”

Aku berpikir, tetapi tidak ada sedikit pun yang terbayang di kepalaku.

“Tidak terbayang apa pun di kepalamu?” tanya Kutil seolah membaca isi kepalaku.

Aku mengangguk.

“Kamu memang terlalu lugu. Bagaimana bisa kamu bertahan hidup di dunia ini jika selugu itu. Dunia ini butuh orang-orang yang licin untuk melumasi mesinnya agar bisa bergerak.”

“Seperti kamu?” tanyaku sedikit tersinggung.

Kutil tertawa. “Ya, seperti aku.”

Aku tidak tertawa. Ia mungkin bisa menangkap rasa tidak nyaman dari reaksiku.

“Begini,” lanjut Kutil, “Saya kasih tahu kamu caranya. Kamu pasti punya teman, kan? Kamu bisa meminta mereka untuk melakukan survei lokasi. Kamu minta mereka juga yang urus soal pemasangan. Kamu kasih berapa kek buat mereka. Nanti kamu ambil untung. Tidak usah banyak-banyak. Toh kamu juga tidak melakukan apa-apa.”

Aku tertegun. Tidak pernah sekalipun aku berpikir seperti itu sebelumnya. Ternyata dapat uang bisa semudah ini. Sebenarnya, selama ini apa sih yang kukerjakan? Aku bekerja susah payah hanya untuk sedikit rupiah dan ternyata ada cara semudah ini untuk mendapatkan uang. Namun, aku bukan orang bodoh, tentu saja aku tahu tidak ada jalan pintas untuk mendapatkan uang. Jika ada, itu bukan cara yang benar. Aku tidak langsung menerima tawaran Kutil.

“Silahkan dipikir dulu,” ujar Kutil. “Tapi jangan terlalu lama. Kalau kamu terlalu lama, saya oper ke orang lain.”

Aku mengalami dilema moral terkait tawaran Kutil. Di satu sisi aku tahu setiap orang melakukan itu sehingga aku tergoda melakukannya. Namun, di sisi lain, aku sadar betul jika sekali yang aku lakukan itu salah dan sekali saja aku melakukannya, maka tidak ada jalan kembali. Aku pun berpikir ada baiknya bertanya kepada kawanku yang penulis itu. Kawanku ini cukup bijak, ia mungkin bisa membantuku mengatasi dilema moral ini. Selain cukup bijak, ia dekat dengan agama, atau setidaknya keluarganya sangat dekat dengan agama. Banyak keluarganya yang menjadi ulama. Jadi kupikir ia orang yang tepat membantuku mengatasi dilemma moral ini. Aku lantas menghubungi kawanku lewat telepon untuk mencari tahu apakah yang aku kerjakan ini bisa diterima dalam konteks agama, sialnya, kawanku malah tertawa. Ia balik bertanya, memang sejak kapan aku peduli menjadikan agama sebagai panduan berprilaku? Rasanya aku ingin mengumpat mendengar ia mengatakan itu. Hampir saja kukatakan sejak istriku hamil anak kedua dan kami hampir kehilangan anak di dalam perutnya. Namun, tentu saja aku tidak mengatakannya. Aku tahu ia akan tertawa jika mendengar aku mengatakannya.

“Kamu tidak perlu khawatir,” ujarnya. “Uang yang akan kamu terima ini datang dari oligarki, dan kamu hanya mengambil sedikit. Sangat sedikit….”

“Sebentar,” kataku memotong penjelasannya. “Dari mana kamu tahu ini uangnya oligarki?”

“Memangnya kamu pikir uang itu datang dari mana?” Ia bertanya secara retoris. “Dari langit?” Setelah mengatakan itu ia tertawa.

Aku tersinggung. Namun, aku membiarkan saja ia tertawa. Mungkin ia perlu memang melakukannya demi membuat hidupnya menjadi sedikit lebih menyenangkan.

Kawanku ini melanjutkan penjelasannya. “Kamu tahu, politik adalah perang. Orang-orang berperang untuk memperebutkan kekuasaan, dan di tengah perebutan kekuasaan itu tidak masalah jika kita mengambil sedikit. Yang kita ambil ini juga sebenarnya adalah milik kita. Kita mengambil dari mereka yang menguasai terlalu banyak. Yang kita dapat dari mereka ini sama sekali bukan harta curian. Tidak ada istilah mencuri dalam perang. Ini ghanimah. Harta rampasan perang. Ghanimah itu hukumnya halal.”

Aku terkesima dengan apa yang dikatakannya. Bukan karena setelah itu ia menyinggung dalil-dalil seputar harta rampasan perang, bukan pula karena kamampuannya membuat metafora dan menemukan kesamaan konseptual antara politik dan perang, bukan pula karena kemampuannya dalam menjelaskan seolah-olah dirinya pengamat politik yang paling tahu situasi negeri ini, bukan itu alasannya; alasan aku terkesima adalah karena pilihan katanya, karena ia menyebut kita. Secepat itu rupanya aku berubah menjadi kita dalam konteks ini.

Setelah mendengar penjelasan temanku, aku menjadi yakin untuk mengambil pekerjaan ini. Aku bisa meminta dirinya untuk mengerjakan pekerjaan ini bersama beberapa koordinator kecamatan yang kupercaya. Sebenarnya aku bisa saja meminta kawanku ini mengerjakan semuanya, tetapi aku terlalu mengenalnya. Aku tahu betul ia bukanlah sosok pekerja lapangan. Apalagi pekerja lapangan yang rajin. Karena itu aku perlu memikirkan nama-nama koordinator kecamatan yang bisa aku percaya untuk mengerjakannya. Aku pun menghubungi Kutil dan berkata aku siap menerima pekerjaan itu. Kutil senang sekali mendengarnya. Namun sesenang-senang dirinya, tidak lupa ia menambahkan perintah dalam kata-katanya.

“Tapi kamu harus ingat untuk membuat laporannya.”

Aku kesal sekali dengan cara ia mengatakannya. Apakan memang segitu perlunya ia mengatakan itu kepadaku. Itu bukan sesuatu yang perlu dijelaskan lagi, aku sudah mengerti. Namun, aku tidak mengatakannya dan memilih mengangguk seperti orang bodoh. Seolah itu belum cukup, Kutil kembali menambahkan, “Satu pesanku. Jangan libatkan koorcam. Nanti pekerjaan mereka jadi terbengkalai. Toh mereka juga bakal dapat bagian setelah kamu.”

“Mengerti,” balasku.

“Saya kasih seratus lembar untuk masing-masing item. Kalau kamu bisa kerjakan dengan cepat, nanti saya tambah.”

Aku memikirkan bagaimana caranya supaya pekerjaan ini bisa cepat dieksekusi jika tidak menggunakan tenaga koordinator kecamatan. Aku tidak punya orang yang bisa dipercaya dan bisa bergerak cepat seperti koorcam. Temanku yang bisa dipercaya hanya penulis yang bahkan hampir tidak pernah keluar rumah itu. Bagaimana aku menyelesaikan pekerjaan ini dengan cepat?

 

Lihat selengkapnya