Margin

Aliurridha
Chapter #20

Margin #20

27 Januari 2024

Kutil mulai mencurigai orang-orang di sekelilingnya berniat menjatuhkannya. Ia berkata ada orang yang ingin merampas posisinya. Ia terlihat selalu tegang. Aku sering mendapatinya terkejut ketika aku membuka pintu ruang kerjanya. Apalagi ketika ia sedang mencetak kertas-kertas berisi angka-angka, ia pasti kaget seperti orang yang baru melihat hantu. Kutil memarahiku jika aku membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia memintaku untuk mengetuk pintu sebelum masuk. Sebelumnya, aku tidak pernah melakukan itu dan dia tidak pernah mempermasalahkannya. Hanya jika aku tahu ia sedang menerima tamu, baru aku mengetuk pintu.

 Aku bertanya kenapa ia menjadi paranoid seperti itu. Kutil tidak menjawab. Alih-alih itu, ia malah meminta aku mengerjakan proyek baru. Ia menanyakan apakah aku bisa mencari petani yang mau menerima pupuk. Aku tidak mengenal satu orang pun petani, tetapi aku tahu satu hal: tidak seorang petani pun bakal menolak diberikan pupuk gratis. Aku berkata, serahkan kepadaku. Kutil lantas meminta aku segera mencari petani atau kelompok tani yang mau memberikan dukungannya untuk Ganjar dan Mahfud. Aku diminta segera bergerak karena ada dua puluh lima kuintal pupuk yang siap mencari petani yang beruntung. Aku pun meminta beberapa rekanku untuk mencari petani yang mau mendeklarasikan dukungan untuk Ganjar-Mahfud. Lagi-lagi aku menghubungi Ahyar dan Ahyar tidak pernah mengecewakanku.

Aku berharap pemilu bisa masuk putaran kedua. Tidak, aku berharap pemilu ini berlangsung selamanya.

 

29 Januari 2024

Aku dan Sunu sedang menyiapkan gajian untuk para koordinator yang masuk agak terlambat seperti koordinator kecamatan dari kabupaten Dompu dan Lombok Utara. Selain itu, ada juga koordinator kecamatan di Kota Mataram yang menggantikan koordinator kecamatan sebelumnya. Lalu ada juga koordinator kecamatan dari Kota dan Kabupaten Bima yang tidak henti-hentinya menambah atau mengganti anggota. Permainan masih aku lakukan. Setelah penghitungan performa, aku menghitung untung.

Kutil lagi-lagi menghubungiku. Ia memintaku untuk mengambil beberapa program lainnya seperti bantuan pakan untuk peternak, bantuan semen untuk pesantren dan masjid, dan bantuan modal untuk pedagang kaki lima berkebutuhan khusus. Kali ini Kutil memintaku datang ke ruangannya untuk tanda tangan. Aku ragu-ragu menandatanganinya.

“Kenapa kamu ragu-ragu?” tanya Kutil.

“Kenapa tiba-tiba aku harus tanda tangan?” balasku bertanya.

“Memang harus tanda tangan? Kan kamu yang bertanggung jawab atas program ini.”

Aku melihat nominal angka yang ada di laporan pertanggung jawaban. Nominal itu sangat fantastis untuk ketiga program yang aku kerjakan.

“Boleh aku lihat-lihat dulu?” tanyaku.

“Silakan,” balas Kutil. “Tapi jangan lama-lama.”

Aku lantas memperhatikan untuk apa saja benda-benda itu dibelanjakan. Banyak sekali barang yang tidak ada. Hanya kata dan angka, benda konkretnya tidak ada. Sudah begitu, nominalnya juga terlalu besar.

Melihat aku ragu-ragu, Kutil berkata, “Kamu sudah mengerti permainannya. Kita harus cepat jika tidak ingin pekerjaan ini diambil orang lain.”

“Maksudnya?” tanyaku.

“Sekarang anggaran ada, tapi waktunya kelewat singkat. Siapa yang bisa berproses lebih cepat, dia yang dapat. Orang-orang yang bergerak lambat tidak akan kebagian.”

Rupanya aturannya sudah berubah, ujarku dalam hati.

“Tapi ini sepertinya bukan hanya program yang kamu tawarkan, kenapa aku harus tanda tangan juga?” tanyaku melihat ada program lain.

“Maaf. Ini programku. Kamu tidak perlu tanda tangan di sini.”

Aku menatap wajahnya. Kilatan cahaya berkelebat di matanya. Aku tahu ini bohong belaka, ia menggunakan namaku untuk program yang ia kerjakan juga.

“Kalau kamu tidak mau, saya oper ke Tama.”

Aku terkejut dengan apa yang dikatakan Kutil karena aku tahu sudah terjadi perpecahan di antara kedua orang ini. Namun, kenapa sekarang ia malah berkata akan mengopernya ke Tama? Apa mungkin hanya diriku saja yang berpikir mereka sedang ada masalah. Atau ia sekadar menggertakku?

“Kamu tidak usah terlalu memikirkannya. Kita perlu cepat. Apakah kamu bersedia atau tidak?”

Aku lantas menandatangani laporan pertanggung jawaban yang programnya bahkan belum berjalan. Kutil kemudian memberikan aku beramplop-amplop uang.

“Itu buat kamu dan orang-orangmu,” kata Kutil. “Kamu tidak perlu beli barangnya. Kamu cukup mendistribusikannya. Barangnya sudah ada di gudang teman saya di Lembar.”

Lihat selengkapnya