BAGIAN SATU
Jalan Lauriergracht No. 37, Amsterdam.
Tiap kali aku berkunjung pada seorang makelar sekaligus pemilik kedai ini, seorang Tuan yang tinggal di Jalan Lauriergracht No. 37—dia selalu menyebutkan begitu, aku selalu merasa terpukau atas ketidaksungkanannya memberiku uang saku, barang untuk keperluan sehari-hari katanya. Ia mengetahui tempat kelahiranku, dari Hindia sana. Ayahnya pernah sesekali mengunjunginya kata pria itu sekali lagi.
Lalu, ia berpesan padaku, "Lakukan untuk bangsamu."
Aku membantah, "Butuh banyak kertas untuk menuliskannya," jawabku sedikit kurang tertarik. Memang aku tidak tertarik. Aku menambahi, "Juga membutuhkan banyak waktu, aku tidak mau menghabiskan sisa hidupku dengan kesendirian." Di benakku dalam segala kasus, maupun itu penulis berkepentingan maupun fiksi, mereka pastinya akan menghabiskan banyak waktu di depan mesin pengetik, untuk menuliskannya butuh kesendirian.
Aku merasa malu atas tindakkan seorang yang samasekali tak memiliki hubungannya atas nasib sebangsaku. Malu terhadap seorang totok di hadapanku ini. Mungkin karena telah teracuni doktrin yang diciptakan Multatuli. Katanya, dulu di lebak, tanah sebangsaku, pernah terjadi kesenjangan yang parah atas para petinggi pribumi dengan pribumi itu sendiri. Sesama pribumi masih menindas? Tak masuk akal kataku.
Itulah aku dengan ketidaktahuan betul tentang duduk-perkara atas apa yang menimpa nasib sebangsaku. Namun, disatu sisi aku juga bangga karena nasibku sebagai pribumi masih bisa seperti orang-orang eropa. Bagi mereka yang tak pernah merasakannya mungkin sampai sekarang ini masih mengalami perlakuan adat-istiadat kuno itu di tanah kelahirannya. Orang-orang saling merendah untuk orang terpandang yang selalu merasa paling tinggi.
Orang-orang yang merasa dibawah pun enggan walau hanya untuk menatapnya. Para petinggi saja tak sudi mempertemukan pandangnya. Begitulah kiranya gambaran orang-orang yang masih hidup dalam keprimitifan yang diarifkan secara turun-menurun. Tradisi menghinakan diri sendiri yang diwariskan. Sekali lagi, berungtunglah aku, yang hidup dan yang akan mati di dalam negeri yang tak pernah sesekali menerapkan adat semacam itu.
Tidak! Aku tidak mau kesepian. Tak ada yang lebih menyita perhatianku selain hal diluar itu. Diantaranya Marisa. Dialah wanita yang kucinta. Jauh disana di hindia, cintaku bersemayam. Aku tak melanjuti untuk menanggapi permasalahan nasib sebangsaku. Aku yang tengah mengenyam bangku sekolah di negeri Sri Ratu ini, tak banyak yang bisa kulakukan, seperti tiap tindak dan langkahku selalu diawasi. Aku hanya seorang pribumi, yang menumpang belajar di negeri orang.
Tak ada yang lebih berarti dari Marisa. Masih sudikah kau membalas pemberian suratku? Barang untuk membacanya saja? Tak apa, tak usah balas surat pemberianku ini. Kadang kalau dipikir-pikir, cukup aku sajakah yang merasakan ini. Dapatkah cinta itu diutarakan? Cinta butuh pengakuan atas hak objek yang dituju. Aku menghendaki engkau sekali lagi. Masih sudikah engkau barang melihat kertas di dalam pembungkus pemberianku itu?
Kau yang jauh disana. Keelokkannya menandingi luasnya hamparan samudra dari barat ke timur. Sengaja aku buat puisi ini untuk mengenang. Tak habis 'Bunga Penutup Abad' itu. Ya, aku menghendaki engkau. Tapi, bukan berarti aku juga akan mendapatkan engkau. Kasih disini, tak tahu sampai kapan. Aku meragukan terhadap diri sendiri. Aku berharap, selama namamu ada di sini, engkau pun juga bertindak demikian.
"Maaf?" Ia seolah tak mengerti. Aku Jabati tangannya yang tebal itu. Dan, juga lebih mencolok dari warna kulitku. Aku perhatikan, ia pandangi aku. "Kau harus melakukan itu." Aku tambah dibuat beban olehnya. Melakukan untuk sebangsaku? Pikirku saja tak sanggup untuk melewati dinding tinggi yang kubuat belakangan ini. "Pakailah uang itu seperlunya. Kalau bisa jauhi tempat-tempat hiburan malam di pusat kota," Aku hanya menggerak-gerakkan kepala, mengiakan.
"Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan membiayai kebutuhan keseharianmu." Pria ini pintar sekali membuat binatangnya ini dibuat jinak olehnya. Aku terima uangnya yang kesekian kali. Bahkan aku masih merasa tidak berat untuk menariknya dari saku milik kepunyaannya. Aku berharap pria ini berhenti berbuat lancang oleh apa-apa milik kepunyaanku. Ia malah menambahi satu-dua frasa, "Terima kasih, untukku?"
Bila kau turut mengulurkan tangan untuk binatang milik kepunyaanmu, bukan berarti kau bisa bertindak sesukamu. Binatang ini juga punya akal dan pikiran. Mirip kepunyaan orang-orang eropa, mirip seperti kepunyaanmu. "Kau harusnya bangga, bisa mengenyam pendidikan. Sementara orang-orang sebangsamu kebanyakkan masih hidup dengan kejahiliyahan disana." Ia bahkan mendakwaiku. Beraninya cuma di dalam tanah kelahiran sendiri.
Tak banyak yang harus kukatakan untuk orang satu ini yang tengah berlindung dibalik kaca kenyamanan rumahnya sendiri. Ya, aku memang bangga. Bahkan karena bangga itu aku sampai jadi tak terlalu memikirkan apakah orang-orang sebangsaku akan bangga terhadapku atau tidak. Sebagai murid sastra dan bahasa, aku hanya menghargai apa-apa yang dikatakan oleh pria totok di depanku ini. Ucapannya walau terkesan seperti metafora belaka.
"Sini aku perkenalkan engkau dengan teman firmaku. Dia seorang yang taat. Orang baik, pekerja keras, dan jujur." Lalu muncul sosok pria jangkung dari balik daun pintu yang awalnya tertutup itu di belakang. Kali ini seorang Indo. Ibunya dari Minahasa, katanya menambahi, ketika aku tanyai perihal asal-usul darimana darah campuran itu terdapat. Dan, aku jabati tangannya, persis seperti perlakuan pria dari Frits & Co. itu terhadapku.
"Ia ingin menawarimu pekerjaan yang sepertinya cocok untukmu." Kali ini aku benar. Semua tindakkannya belakangan ini memang punya tujuan tersendiri, Ia hanya ingin aku bekerja membantu kemajuan untuk firmanya. Mencoba meraup untung dari penjualan kopi, sebab ia seorang makelar kopi, seperti ayahnya. Para kapitalis. Para pemodal yang hanya memikirkan keuntungan untuk dirinya, untuk firmanya.
Tak jauh berbeda dari J.P. Coen yang datang memonopoli pulau-pulau di nusantara. Hanya untuk pala. Bayangkan, hanya buah pala yang dapat mendatangkan orang-orang eropa pada daerah-daerah yang lebih terbelakang, dengan berbekal pendidikan yang lebih maju daripada pribumi pulau itu sendiri. Sudah cukupkah menanding-nandingi kehebatan bangsaku dengan bangsa berkulit putih?
Bahkan untuk ukuran J.P. Coen sendiri itu lebih untuk keuntungan pribadi, untuk firma. Melainkan untuk sebangsanya. Bukannya menghakimi bangsaku sendiri yang terbelakang. Memang tak cukup satu atau dua pribumi dapat menuntaskan kebodohan dalam negeri sendiri. Juga cukup keberanian dalam menuntaskan saudara sendiri yang tak mau berjalan beiringan. Yang satu ingin maju, yang satu tetap tunduk dalam kenyamanan.
Jadi salah paham, "Memang." kataku baru awalan, "Aku belajar untuk kemajuan diriku." Pria indo di hadapanku ini langsung merubah posisi duduknya. Bertindak seperti remasan yang tak bernilai. Bibirnya berkedut, rasanya ia ingin menambahi. Aku tunggu, dan benar saja.
"Kalau begitu, bagi tuan, Multatuli dulu seorang totok bertindak demi kepentingannya?" Menunjukkan semakin menjadi-jadi dia, seorang yang mendahulukan dirinya. Aku berusaha betindak apa adanya. "Beda lagi." Kataku, dalam arti pembelaanku. "Lalu, bagaimana tuan buat surat kabar walau barang menyampaikan suara kami disini?" Aku jawab tegas, "Tidak." Ia tak jadi menambahi, Dan, aku rasa perbincangan selesai.
Memang aku adalah manusia bodoh. Berotak dangkal. Si penakut dan si pemalu, yang seluruh hidupnya hanya diisi untuk menyusahkan orang lain. Tapi, jujur. Maksudku bukan untuk menyusahkan. Apalagi berbuat susah mendatangkan orang ini jauh-jauh hanya untuk bertemu denganku. Tidak, bukan. Ada lagi yang lebih petaka bagiku, daripada nasib-nasib sebangsa atau apapun hal yang bersifat penindasan itu.
Marisa. Hamba hanya mengingikan engkau, hadir di sini. Walau rasanya seperti mengada-ada. Bahkan berlebihan. Hamba tak pandai dalam hal-hal mengejar, atau memuja untuk itu. Sedari dulu, hamba pengecut. Hanya membalas apabila merasa diri aman. Berada jauh dari sasaran objeknya. Tetaplah menginspirasi hamba, mungkin tanpa engkau, hamba bahkan tak hendak pernah merasakan kenikmatan yang tuhan berikan ini.