Marisa

Donny Setiawan
Chapter #2

Indische Vereeniging

BAGIAN DUA 

"Terdapat surat kabar pribumi Hindia secara terang-terangan menggugat pabrik gula seorang totok!" lanjut tulisan dibawahnya, "Hindia Olanda bergegas." Tak sampai disitu, aku juga teruskan kalimat-kalimat yang menurutku menggugah. "Di hari perayaan hari ke ..., memperingati kemenangan pertempuran Waterloo. Sebuah penghinaan besar bagi Hindia Olanda, katanya." semangatku merosot, lalu aku tutup koran berita pagi itu. Tak ada niat lagi, aku urung segera keberangkatanku pada rumah makelar itu.

Tak cukupkah terhadap perang Napoleon yang mencaplok penuh belanda dulu? Kini mereka berkenan melakukan hal sama terhadap pribumi hindia? Sebuah permulaan untuk memulai perang meletup, mungkin juga untuk eropa. Untuk selamanya, dunia yang diselimuti ketentraman, akan datang pada masanya sulut api akan terpantik lagi, terlebih untuk hindia. Ketika dunia tak selamanya bisa terus tertidur, pada setiap sudut pasti ada saja sekolompok yang mengusiknya.

Kurasai tubuh memang sedari tadi pagi sepulang dari rumah kerabat itu, perasaan penat, hingga sekarang juga tak kunjung reda. Aku semangati dengan berjalan kaki sekitar kompleks, sebelum aku kembali untuk mandi, makan pagi, dan membaca koran. Berkat koran itu, aku semakin menjadi-jadi. Rasa kurang antisipasi terhadap menjalani hidup hari ini. Baca buku saja pun tak selera. Tak ada niat akan informasi baru, ataupun kisah-kisah yang menginspirasi.

Hari libur panjang sekolah, kuhabiskan dengan membesuk seorang makelar, yang dermawan itu, juga urusan nasib sebangsa, juga mengabulkan aspirasi pribadi sosok indo yang asal-usulnya pun aku tak tahu. Aku rela berurusan dengannya dikarenakan ia firma makelar itu. Juga tak bisa menolaknya, sebab ia juga satu kelahiran yang sama denganku. Orang-orang hindia. Entah mengapa ia dipenuhi kobaran api semangat?

Terlebih mengenai nasib sebangsa. Juga aku tak mengerti, kenapa malah orang-orang yang di luar dari hindia yang peduli akan nasib pribumi. Aku rasai tak memiliki minat begitu terhadap mereka. Sebab memang nasib mereka begitu. Sejak jaman raja-raja berkuasa, mereka itu murah tunduk. Pelayan-pelayan raja-raja. Sudah sejak lama mereka hidup berdampingan dengan sistem hierarki yang dibuat oleh orang-orang aristokrat.

Bahkan hingga menjamah urusan kepercayaan, yang semakin mendarah daging hingga ke tujuh turunan. Semakin melekat mereka, sulit untuk melepas keyakinan diri pada yang memang sudah lama diwariskan, bahkan dengan terang-terangan dilestarikan. Untuk apa melawan? Kalau hidup masih juga sengsara. Orang-orang di bawah akan tetap berada di bawah untuk orang-orang yang selalu merasa diri di atas. Tak ada pembelaan, yang ada hanya kepasrahan.

Sudah lama mereka berhadapan dengan ancaman-ancaman yang mengusik punggung mereka, bahkan untuk urusan Hindia Olanda sekarang, titah Gubernur Jendral! Takut? tidak. Hanya saja mereka telah nyaman dengan keadaan mereka. Jadi, abdi-abdi kaum ningrat! Hidup untuk mati! Tak ada pembelaan, yang ada hanya niat urusan mati atau bertahan! Tak ada enaknya, hidup berada di neraka, mati juga di neraka!

"Sudah tuan baca kabar harian mengenai bangsa tuan?" Aku tengahi percakapan awal ini, dengan kesukaran yang menjemukkan dada. "Pribumi berhasil menggelitikan kaki seorang Goliath," Tuan makelar baru muncul pada muka. "Dan, kembali berhasil menyembunyikan pukulannya dalam gua." Tak ada yang lain mengenai siapa lawan siapa, yang pasti diantaranya bakal mengungguli salah satunya. Sebab itulah aku tak berkenan dengan berita macam itu.

"Berita perkara yang terperintah dan yang memerintah di hindia." orang-orang sibuk mengungguli siapa ke siapa, yang lemah akan kalah dari yang kuat begitu sebaliknya. Rasanya tak ada rumus lain pada panggung itu. Barang pula sejarah dicatat oleh pihak yang menang, aku pun gusar atas kebenarannya. Bahwa benar saja raja-raja dulu di abad pertengahan suka membesar-besarkan namanya lewat tulisan. Aku juga tak berkeberatan akan hal itu, bahwa bahasa selalu ada, beriringan bersama manusia .

"Bahkan tak segan menyinggung perkara gula. Itu sebabnya kau harus melakukannya untuk sebangsamu." sekali lagi aku menengahi, "Aku tak pandai dalam hal menulis." tiba-tiba muncul pembenaran diri yang tak direncanakan, Multatuli tidak ingin menulis dengan baik namun ingin pemikirannya didengar. Juga aku kehendaki perkara begitu, juga aku rasai aku bukan Multatuli. Bukan seorang totok, juga tak pernah bekerja pada urusan administratur negara Hindia Olanda. Bukan berkulit putih.

Sudah berapa kali aku berusaha menengahi duduk perkara yang sengaja ditimbulkan oleh sosok indo ini, buah cakap yang menjurus pada angan-angan pribadi, juga yang sangat menjemukkan. "Mengapa tak tuan coba menulis sendiri bahasa tuan?" ia terus memerangi sebuah pendirian, yang sudah sejak pada awal permulaan aku kokohkan. Ia belum saja puas akan pendapatan itu. Memerangi keadaan nasib sebangsa tak lain sama berat dari bergulat menguasai diri.

Kali ini ia tak beri kami ijin untuk masuk, yang mungkin juga sebab perselisihannya dengan bininya. Aku maklumi, juga sosok indo ikut menerangkan lewat bahasa tubuhnya, bahwa ia berkehendak menyampaikan sesuatu padaku, agar tak merasa tidak enak hati. Kataku dalam hati, memang sebuah tabiat orang eropa berselisih sebab perkara wanita-wanita atau urusan minuman. Orang eropa justru bisa dibilang lebih kalah unggul kalau dalam hal urusan menguasai bini.

Ketimbang pribumi hindia. Setelah berlama-lama asyik mendapati diri, akhirnya totok itu mengajak kami keluar diri juga, menunjukan tempat untuk minum-minum rupanya. Pria indo itu menghendaki, juga aku, yang telah lama ku menantikan momen begini. Menemui gadis-gadis eropa, atau bermain mata dengan mereka. Di tengah jalan, totok itu banyak menyinggung hal-hal yang tak aku pahami.

Permasalahan terhadap kawin muda, yang malah aku menganggapnya remeh. Urusan dengan wanita saja kau tak bisa, bagaimana nanti berurusan dengan bangsa pribumi hindia? Juga sosok indo itu yang nampaknya, separuh menaruh minat, juga mengemukakan pendapat bak orang yang khatam. Mungkin ia juga beristri. Beda saja, jika ia lebih memiliki usia yang lebih muda dariku. Urusan cinta pertama pasti yang akan ia gusarkan.

Aku heran, banyak orang diluaran sana yang keliru membicarakan cinta. Tahu apa kalian tentang cinta? Sepasang kekasih yang saling mengisi? Lalu aku menegahi, apa salah mencintai diri sendiri? Aku pernah jatuh terjungkal ke dalamnya. Tak mengapa, terpenting aku pernah mencicipinya, juga berpandangan mengapa banyak orang yang memuja cinta. Kadang kuanggap cinta dan wanita dalah hal yang hampir sama. Bahkan lebih ekstrem lagi keduanya adalah hal yang memang serupa.

Sukar dibedakan, jika manusia dibutakan olehnya. Cinta itu asing. Ia ada sebab ia tunggal. Cinta yang menciptakan kita. Itu sebabnya kita kerap dibutakan karenanya. Cinta bagai benda asing yang kerap singgah dan manusialah yang meluluskannya. Sudah sepantasnya kita menjadi penerima yang berbesar hati. Tak tahu diri semestinya, kita telah diberi hidup, namun masih membangkang terhadapnya. Tahu apa kalian tentang cinta? Yang kutahu, cinta itu asing.

Lihat selengkapnya