BAGIAN TIGA
Akhirnya aku tumbang. Berdiri bahkan sudah tak sama lagi untuk saling meumpu. Aku sudah pincang. Pincang sebelah. Mengenai nasib sebangsa, mengenai persoalan pribadi. Bahkan aku selalu menghendaki membohongi diri. Sudah waktunya menyerah? Tubuh kurasai sudah tak sanggup lagi menopang. Sekolah memberhentikan aku. Orang-orang dari perhimupnan juga telah tak menganggapku. Aku asing.
Sudah lima hari ini aku tak menulis. Seharian penuh terkapar di atas ranjang. Menatap langit-langit mungkin sering aku lakukan, meratapi persoalan terhadap diri. Entahlah selama itu juga aku telah membuang satu per satu perkara yang bikin memberatkan aku, pada pikiran yang malah tambah terus bertumpu. Aku lemah. lemah tak berdaya di atas penghamikan orang lain, diri sendiri, juga Marisa. Sudah kalahkah aku?
Melawan diri sendiri, melawan pribadi orang lain, melawan terkutuknya dunia. Kasihan diriku, menahan rasa sakit sekaligus berusaha bergerak maju. Di mana pendirianmu? Baru terkapar lima hari di atas ranjang sudah meninggalkan kewajiban menulis untuk dirimu, untuk sebangsamu. Belum juga kalah, belum juga sepatutnya menyalahkan. Kau tahu, sosok indo itu, walaupun kerap meneror untuk terus mengingatkan untuk tetap maju, sering kali begitu dibuat aku kesal padanya.
Ia juga sosok yang perhatian. Juga sosok yang lebih perhatian pada perkara yang ia ambisikan, mengenai persoalan nasib sebangsa. Dibandingkan aku, yang menjadi pioneernya, yang maju sendiri. Seolah-olah seorang penunggang kuda tanpa kudanya, menembus barisan regu pasukan musuh yang siap menebas. Aku tak tahu lagi sampai kapan ini berakhir. Yang jelas, aku harus tetap menulis. Entah untukku, untuk nasib sebangsa, atau untuk Marisa.
Belum juga habis terkenang bunga penutup abad itu. Keelokannya melebihi luasnya hamparan samudra, dari barat hingga timur. Kau cinta sejati, aku tunggal semata. Kau tahu, aku tak pernah bermesra. Sebegitu memperihatikankah aku? Untuk urusan wanita saja kau kalah. Bagaimana urusan untuk pribadi? Untuk nasib sebangsa? Mau kau kalah untuk seterusnya? Kalah tanpa perlawanan adalah tindakan orang yang tak dapat membela diri.
Entah diri yang betul-betul menghendaki atau diri yang sudah sejak awalnya memang melintas saja. Satu demi satu perkara-perkara diri, kelalaian terhadap diri, aku tak pandai membuat diri untuk menuntut lebih memutuskan berbuat seusuatu yang dirasa berdasar kehendak diri. Musuh terbesar manusia adalah manusia itu sendiri. Yang kadang membuatku kalap akan asupan peningkatan diri, yang malahan membuatku semakin lapar akan asupan.
Dan semakin aku lapar, semakin aku tak dapat asupan diri, dan aku mati kelaparan. Kurus kering tubuh ini, sudah tak punya tenaga, kurangnya gizi. Lalu, darimana kau dapat menulis dan berpikir kalau itu benar terjadi? Darimana semua pemikiran itu muncul, jika orang yang dibawa raganya saja enggan untuk bertindak. Sekali lagi aku menengahi untuk mau bertindak. Betapa bodohnya, kau tahu bahwasanya manusia untuk mendapatkan sesuatu harus bertindak.
Namun, juga enggan untuk melakukannya. Bodoh manusia yang tahu, malah menghakimi diri, yang tak tahu bagaimana harus berbuat. Aku seperti anak yang sedang berlarian di tengah hutan sendirian. Tanpa arah, tanpa tujuan. Tanpa pendamping. Terus lari saja ke depan. Jangan memedulikan persoalan diri, jangan memedulikan apa terdapat pada di belakang. Begitu kosong, hingga kau menuliskannya kini tanpa arah dan tanpa maksud tujuan. Begitulah terciptanya catatan.
Biarlah I.V. dengan surat kabarnya sendiri, yang dirasa kurang menyinggung persoalan nasib sebangsa, yang lebih menghendaki ketimbang isu-isu politik dan dirasa main aman. Aku yang kini berdiri sendiri. Menyatakan perasaanku, buah pikiranku, tentang apa-apa yang ada di Negeri Sri Ratu. Semuanya tentang busuk-busuknya sekalipun. Juga apa-apa yang ada di Negeri Hindia, walau tak semua kusinggung. Semuanya lewat begitu saja. Tak ada penghakiman jelas untuk diriku sendiri. Mungkin juga telah sepantasnya aku menulisnya bukan sekadar tulisan-tulisan pendek.
Juga aku harus menghendakinya menulis cerita-cerita pendek, yang menggambarkan nasib sebangsa di hindia, atau keadaan nasib sebangsa pribumi di Negeri Sri Ratu sendiri, yang dirasa sama-sama tersungkurnya pada kehendak antar pribadi. Buah pikirku yang sesempit ini masih lebih mirip berupa luapan kobaran api yang menyambar belukar-belukar, tanpa kehendak sendiri, berserak-serakan menurut sesuka hatinya. Melahap tanpa pandang bulu.
Aku perihatin dengan orang-orang yang bergerak beratasnamakan persatuan atau kelompok atau organisasi atau bangsa. Sekalipun begitu, mereka tetap bergerak untuk satu orang yang punya kendali penuh atas orang-orang. Aku menamainya, kebebasan yang diperbudak. Revolusi perancis contohnya. Dikuasai oleh orang-orang yang menyatakan kiri, sama saja, apa bedanya Perancis kala semasa dikuasai bangsawan Bourbon? Kalau pun juga mengarahkan mereka pada pertempuran-pertempuan? Menghantarkan pada kehendak antar pribadi?
Menumbangkan manusia takkan ada habisnya. Mereka terus tumbuh. Sama para pembesar juga akan terus tumbuh. Semakin besar, besar dan besar saja mereka nantinya. Sementara orang-orang yang menganggap dirinya terpelajar, menutup tempurung kiri dan kanan mereka. Seolah lebih punya sikap kepedulian terhadap kuping sendiri daripada dengan sekitar, yang lebih mementingkan diri di atas segalanya. Sementara para pembesar itu nantinya menguasai dunia, para kuping ini tumbuh tanpa pengetahuan.
Orang-orang terpelajar ini malah asik-asiknya berlomba-lomba menunjukan diri, menunjukan gigi-gigi. Tanpa merasa berdosa memamlingkan wajahnya pada pembesar itu, yang malah mengarahkan mereka pada kehinaan sendiri. Tanpa malu. Orang-orang terpelajar mana punya urat malu? Mengolok-olok sesama terpelajar saja mereka kehendaki, apalagi pada orang-orang yang tidak segolongan? Bisa-bisa hanya dihinakan sebagai sampah masyarakat.
Aku menghendaki engkau sekali lagi. Tak cukupkah sebentar saja Marisa, kau tak berkunjung pada kepala hamba? Tunggu sebentar. Masih banyak perkara-perkara yang belum tuntas, bahkan untuk nasib sebangsa sekalipun yang ingin aku sampaikan. Bukan saja tentang kaum tertindas dan penindas. Namun, bibit yang mulai sedari kelahiran adalah sebuah nasib yang sudah ditanam. Seperti kutukan yang tak ada putusnya. Ini bersinggung bibit, yang memang sedari awal peradaban manusia diciptakan.
Atau awal kelahiran manusia ke bumi sekaligus. Sudah tak bisa terbantahkan lagi. Sudah tak bisa diganggu gugat lagi, bahwa nasib sebangsa pribumi hindia memang sepatutnya sudah masuk pada ketundukan. Bukan pada berkulit putih saja, sesama kulit rendahan pun juga tunduk. Juga pada eropa, juga pada pemodal, juga pada pembesar, yang kerap apabila mereka berjalan beriringan, seperti satu kesatuan ketertindasan yang maha sempurna.
Bagi orang-orang pribumi, mungkin itulah sang maha pembesar. Yang maha agung. Mereka tak bisa bertindak, merasa juga tak bisa melawan. Sebab nasib membenturkan mereka, berada di bawah kaki tangan mereka, dengan kehendak mereka. Mereka yang hidup di atas tangan mereka. Itulah mengapa sebabnya mereka harus tunduk. Jika, mereka keluar dari lingkaran itu, mereka hampa. Nantinya, mereka haus sosok yang akan di hamba.
Setiap pribadi pasti memiliki sebuah masalah. Masalah itu bisa diukur dari bagaimana individu itu memandang atau menanggapi suatu persoalan. Bisa menjadikan sebuah persoalan lebih besar atau bisa menjadikan permasalahan hidup dan matinya. Dua-duanya bahkan kerap menjadi satu ke satuan permasalahan terhadap seseorang. Tak ada yang sempurna, kadang ada yang dapat mengatasnamainya, kadang ada yang cepat membuka lebar-lebar pada pintu pengakhiran.
Mengapa hidup hanya persoalan tentang yang hidup? Lantas kemana setelah hidup? Benarkah bahwa kematian adalah akhir dari segalanya? Akhir dari hidup pun aku setuju. Namun, untuk mengatakannya hal yang lebih, aku tak sanggup. Sebab batas manusia hanya kepada yang ada pada bumi, pada yang hidup, bukan di setelahnya. Bukan kehendak kita untuk menyalahkan takdir. Bukan sepantasnya kita untuk menyalahi kita hidup.
Namun, sudah sepantasnya kita menyalahi diri, mengapa masih diri belum juga bergerak ke arah yang lebih bajik lagi? Sebuah kenyamanan kerap membunuh dengan secara paling yang diinginkan oleh setiap manusia. Sebab kematiannya tak dirasai, bukan sebagai suatu musibah. Bahkan karunia yang ia dapat. Karunia yang mengakibatkan ia gagal menjadi manusia. Tidak menyalahkan siapa-siapa. Menyalahkan diri masih kerap menjadi persoalan.
Kadang apa-apa yang telah kita bangun terhadap diri, jika dihadapkan dapa milik kepunyaan sekelompok pribadi yang memang secara hakikat dibentuk, membuat diri malah menjadi salah, malah kerap dianggap keliru, seolah yang dirasai bukan hal sepatutnya begitu, atau menjadi orang yang berada di luar dari sepatutnya. Semua kelompok individu adalah pembunuh bagi individu-individu yang ingin bergerak. Kemandetan pun turut menentukan suatu pergerakan.