Tahun 2017
Di luar tengah hujan, suara petir seolah tak mau kalah dengan suara rintik hujan. Petir bergemuruh, menyambar tiang listrik. Listrik padam. Membuat cahaya laptop di depan Dara terlihat sangat silau di tengah gelapnya malam.
Dara termenung, membaca beragam pemberitaan ngawur yang tengah diliput di berbagai media, menyusul hilangnya seorang gadis bernama Anne Martin.
Sesak rasanya, mengetahui kualitas berita saat ini. Yang rela menyebarkan berita palsu hanya untuk menaikkan popularitasnya. Mereka menganggap semakin sering meng-update berita, maka ketenaran media mereka akan melejit. Beragam media hanya memperhatikan kuantitas berita tanpa ada kualitasnya. Itu yang memprihatinkan.
Padahal di luar sana, sudah banyak korban dari pemberitaan ini. Susul menyusul. Orang-orang yang hilang, dan tak ada satupun yang kembali dengan selamat.
Dia, Dara Athaya. Hidup sebatang kara semenjak kepergian kedua orang tuanya. Athaya, adalah singkatan dari nama kedua orang tuanya.
Jurnalis, rasa ingin tau yang tinggi, yang ada pada dirinya memantik semangat gadis itu untuk menjadi seorang jurnalis. Berbagai upaya akan ia lakukan, demi menguak dalang dari hilangnya orang-orang secara misterius di kota pongah ini.
“Ciiiit…” seseorang tengah membuka pintu kamar Dara, orang itu tengah berdiri di depan sana. Dara segera menutup laptopnya.
Seseorang bertubuh gempal itu berdiri di depan pintu, wajahnya tersinari oleh cahaya lilin putih yang ia bawa di sebuah mangkuk kaca kecil. “Masuklah!” Wajah Dara lega setelah mengetahui bahwa orang itu adalah Jacob, sahabat baiknya. Pria bertubuh gempal ini berhasil membangkitkan Dara di kala ia terpuruk. Jacob, anak dari keluarga konglomerat terbesar di Negara ini, keturunan Jawa-Belanda. Bapak dan ibu Jacob, mengangkat Dara sebagai seorang anak angkat mereka. Mereka memungut gadis lusuh ini dari sebuah panti asuhan kecil di sudut kota. Membesarkannya sama bak anak kandungnya sendiri.
“Apa yang membawamu kemari?” Dara beranjak dari tempat tidur, memperbaiki posisi duduknya.
“Anne Martin, kau sudah tau tentang dia?” Pria itu meletakkan lilin yang ia bawa di meja dekat tempat tidur Dara. Ia segera duduk di samping Dara.
Dara melamun. “Hey! Aku tengah berbicara denganmu, ada apa?” Jacob melambai-lambaikan tangannya di depan wajah sahabatnya, ia membuyarkan lamunannya.
“Emm.. ya aku tau. Malang nasibnya. Dia masih terlalu belia dan harus meregang nyawa dengan mengenaskan,” tatapan Dara masih terarah ke lilin putih yang perlahan meleleh terkena panasnya api.
Jacob memegang tangan Dara, wanita itu menoleh padanya. “Dara, kau tak akan nekat menyelidiki kasus ini, bukan?”
Dara mengangguk. Jawaban yang cukup ambigu untuk menimpali pertanyaan Jacob. “Aku tak bisa membiarkan kasus ini lenyap begitu saja, Jacob. Jika aku berhasil membongkar kejadian yang terjadi sebenarnya, karirku dalam dunia jurnalistik juga akan melejit.” Mata gadis itu berbinar-binar.
“Tapi itu gila. Taruhannya nyawa. Kau tidak bisa memutuskan ini sendiri,” ia memohon pada Dara, genggamannya terasa semakin erat.
Dahi wanita keras kepala itu tertekuk, “Maksudmu?”
Jacob terlihat salah tingkah, “Emm.. maksudku, aku tidak mau jika kau berakhir sama dengan korban lainnya. Apa yang mendasarimu hendak melakukan ini, Dar?”
Jacob menghela nafas, “Bahkan, para penyidik pun menolak untuk menyelidiki kasus ini. Tapi kau, malah mengajukan dirimu, hah?”
“Kau tak mau mendukungku, kah?” Dara menggerutu. Jacob menghela nafas sekali lagi, ia mengangguk pelan. Dara masih tak bisa menangkap jawaban dari anggukannya, anggukan terasa kurang akurat bagi wanita keras kepala itu, “Mau atau tidak?”
“Baiklah, aku juga tak bisa merelakanmu sendirian.” Dara tersenyum padanya, dua lesung pipit itu terlukis mengiringi senyuman wanita itu, manis. “Dara,” Dara memalingkan pandangannya pada Jacob. “Apakah kita hanya berdua?” Dia terlihat sedikit cemas.
Dara menggeleng, “Tentu tidak, selama berbulan-bulan lamanya. Sejak kasus hilangnya orang-orang secara misterius ini terjadi, aku menemukan beberapa orang yang sama denganku. Mereka juga menemukan hal yang janggal dari kasus ini. Seperti tak masuk akal, jika mereka yang hilang itu ditemukan dan dicap meninggal karena bunuh diri. Jika satu dua mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi, Anne Martin sudah menjadi korban kesekian kalinya. Dan itu berhasil menggerakkan hati dan pikiran orang-orang yang sama denganku.” Dara bangkit dari tempat duduknya. Ia melepaskan genggaman tangan Jacob yang sedari tadi menempel bak prangko. Wanita itu mengambil lilin putih yang Jacob letakkan di meja. Kemudian membuka lemari, mengambil sebuah map berisi foto dan data orang hilang yang ia ketahui.
Dara kembali ke tempat tidur, diletakkannya lilin yang ada di tangannya, kemudian ia duduk di depan Jacob. Disodorkan map tersebut padanya.
“Selama ini aku telah banyak meneliti, kukumpulkan data yang teman-temanku ketahui tentang identitas orang-orang yang hilang secara misterius. Aku mendapat banyak informasi dari seorang bernama Kopi Jawa.”
Jacob membuka map tersebut. Meneliti satu per satu foto dan nama orang-orang yang hilang.
“Darisitu aku telah menemukan 5 orang telah hilang dan 4 diantaranya ditemukan mati mengenaskan. Sementara 1 orang ini paling janggal. Ia adalah lelaki yang menghilang bersama dengan mereka. Namun tak kunjung kembali, jadi aku belum bisa mendapatkan foto dan data lengkapnya. Aku hanya mendapatkan namanya, Kosim Sumarni.”
Simbah Lanang, Anne Martin, Andini Attahiya, Rara Athiar, dan Kosim Sumarni, gumam Jacob dalam hati, menelaah satu per satu nama yang tertulis pada data Dara.
“Kurasa mereka adalah orang berpengaruh, bukan kah begitu? Simbah Lanang, ia bisa saja seorang pemuka adat atau petinggi dari suatu daerah. Anne Martin, wanita muda yang tiba-tiba hilang secara misterius, apakah mungkin ada sangkut pautnya dengan dunia kerja dia sebelumnya? Kosim Sumarni, masih misterius, jika ia masih hidup, pasti dia sudah muncul saat ini. Sedangkan dua sisanya, aku tak bisa membuat praduga lebih," tukas Jacob.
"Ya, dua sisanya, mereka adalah anak panti asuhan yang hilang pada 2009," sahut Dara.
Wanita itu tertegun, sunyi sejenak. “Baiklah. Bisa digaris bawahi, kita akan segera mencari track record Anne Martin. Dari situ kita bisa membuat beragam hipotesa tentang apa yang terjadi di tahun 2007 hingga 2009,” lanjutnya.
“Sialnya, di tahun itu, tepat saat berita ini gempar-gemparnya aku tidak sedang berada di Indonesia. Sedari kecil, Ayah mengirimku ke Belanda untuk tinggal dengan nenek, pun melakukan studi di sana. Aku kembali selepas kejadian orang hilang ini mulai reda,” ujar Jacob seraya menepuk jidatnya.
“Ya, bahkan dengan aku, kala itu aku tidak terlalu ambil pusing dengan berita ini. Pun informasi sulit kudapat dari tempatku dulu, aku masih sibuk dengan seni bela diri pencak silat yang diajarkan Kyai. Ayahmu mengambilku tahun 2010, kalau tidak salah. Ahahaha, kenapa kita malah bernostalgia, sih,” pekik Dara.
“Oke, fokus. Kurasa ini belum semua, Jac,” Dara menunjuk lembaran kertas yang masih dipegang pria gempal itu.
Jacob mengangguk, “Ya, ini belum semuanya, kau kehilangan dua orang.”
Dara mulai penasaran, “Hah, siapa?” Jacob menata rapi kembali lembaran kertas tersebut, kemudian mengembalikannya ke dalam map. “Seorang pasangan suami istri. Mereka juga turut menghilang. Ditemukan meninggal lebih dahulu dari wanita bernama Anne Martin itu.”
“Perbukitan yang sama?” Jacob menimpali pertanyaan Dara dengan gelengan kepala.