Mark The Dates

Noor Cholis Hakim
Chapter #4

Mereka Tau!

Lorong rumah Jacob.

Lilin di tangan Jacob itu perlahan mulai redup. Ia menarik gagang pintu kamar ayah dan ibunya. “Kriet..” Bunyi gagang pintu yang berdecit itu menyatu dengan suara hujan dan gemuruh petir di luar sana.

Jacob menengok. Gelap, batinnya. Ini pertama kalinya ia masuk ke dalam kamar kedua orang tuanya, semenjak beberapa tahun silam datang ke rumah ini dari negara kincir angin.

Ia mendorong pintu tersebut dengan bahunya, sebab satu tangannya memegang lilin dan satunya lagi tengah menjaga lilin yang semakin meredup itu.

Ayah dan ibu Jacob memang sudah tak jarang pulang larut. Bahkan kerap kali mereka tak pulang. Sejak kecil Jacob sangat kurang perhatian dari kedua orang tuanya. Pun sebab masa kecilnya ia habiskan di negara kincir angin nun jauh di sana bersama sang Nenek. Baginya, Bik Marni adalah orang paling berjasa. Wanita kepala enam itu menjadi sosok pertama yang merawat Jacob sekembalinya ke Indonesia menjelang 2010 lalu.

Ia meletakan lilin tersebut di atas laci. Lalu meringkuk, menarik salah satu laci. Ketemu! Jacob mengambil lilin tersebut. Sumbu lilin tersebut, didekatkannya dengan sumbu lilin yang masih terpaut api.

Pria gempal itu kegirangan, sebab berhasil menemukan barang di dalam gelap. Lilin kecil itu mati, digantikannya dengan lilin yang baru ia nyalakan.

Ia berbalik badan, membawa lilin tersebut di tangannya. Bola matanya berputar, melihat sekitar. Matanya seolah asing dengan benda-benda tersebut. Puluhan patung ada di kamar ayah dan ibunya. Keris dengan rangkaian bunga seolah ada di tiap sudut ruangan ini.

Dua buah jubah berwarna merah menggantung di sebelah laci.

Dahi Jacob tertekuk, “Sejak kapan ayah dan ibu punya barang-barang seperti ini?” Setiap ruangan di rumah ini tak pernah terdapat patung dan benda-benda seperti yang ada di kamar ayah dan ibunya. Hanya lukisan-lukisan dari pelukis handal saja yang menghiasi sisi dan dinding-dinding ruangan.

Ia mengitari kamar, tak sengaja pria gempal itu menjatuhkan sebuah pigura foto yang terletak di atas laci. Pecah.

Sejurus kemudian, ia meringsut – mengambil benda tersebut. Diletakkan lilin yang ada di tangannya di hadapannya. Pria itu mengumpulkan kepingan kaca pigura yang pecah. Matanya segera terfokus pada foto dalam pigura yang tengah tergeletak di depannya.

Wajah dalam foto ini memang tak asing. Ada kedua orang tuanya dalam foto tersebut. Jacob masih bayi kala itu, ia ada dalam gendongan sang ibu. Namun yang membuat aneh. Ada keluarga lain yang turut ikut dalam foto tersebut. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami istri dengan kedua anaknya. Salah satu anaknya perempuan seusia balita, sementara yang satunya perempuan juga, patut disebut setara dengan anak SD kelas akhir.

Ia memicingkan mata, memandang lebih dekat foto tersebut. Pandangannya fokus pada keluarga kecil 4 orang itu. “Siapa mereka?” gumam Jacob.

Ia bergedek, “Ayah dan ibu seperti tak pernah menjelaskan tentang keluarga ini. Mereka jelas bukan keturunan Belanda. Ayah memang masih punya saudara. Tapi tidak dengan ibu. Ibu jelas tak pernah bercerita padaku tentang saudaranya.”

Jacob tersentak, ia mengingat sesuatu ketika pandangannya terarah pada wajah si balita perempuan itu. “Tunggu. Sepertinya aku tau gadis ini.”

Ia terbungkam, membatu. “Dara?”

Suara mobil samar-samar terdengar, memecah focus Jacob. Itu ayah dan ibunya.

Bulu kuduknya berdiri, suasana di kamar ayah dan ibunya terlihat mencekam. Bak ribuan mata tengah memandang pria gempal itu. Jacob segera beranjak. Segera dibereskannya pigura yang jatuh tadi. Foto itu ia bawa, dilipatnya lalu dimasukkannya ke dalam saku celana.

Lihat selengkapnya