Tahun 1993.
Selepas kedatangan Bik Marni di keluarga Mbah Cokrominoto.
“HUAAA!” teriak bocah lelaki berusia 10 tahun itu. Bola matanya putih seluruhnya.
Seluruh anggota keluarga Mbah Cokrominoto berkumpul di salah satu rumah di tengah-tengah pedesaan. Mereka duduk melingkari si bocah tersebut.
Seorang pria seumuran Simbah Cokrominoto mengenakan baju lurik dengan kumis melengkung melekat di atas bibirnya. Sekali-kali ia memainkan ujung kumisnya yang melengkung panjang itu.
“Ibuk, aku takut,” ujar seorang gadis mendekap tangan sang ibu. Dia adalah cucu Simbah, putri angkat dari salah satu anak Simbah Cokrominoto.
Sang ibu mengelus rambut anak tersebut yang tertutup tudung dari jubah berwarna merah. Jubah warna merah itu menjadi simbol sisi lain Keluarga Cokrominoto yang tak diketahui oleh masyarakat luar. Simbol keluarga penyembah iblis.
Bocah lelaki itu mendengus, wajahnya benar-benar kewalahan.
“Monggo, mbah,” ujar lelaki berbaju lurik itu. Ia mempersilahkan simbah berbicara dengan bocah tersebut.
Bocah itu, ia menjadi perantara komunikasi antara keluarga Simbah dengan sang iblis.
Bocah itu masih mendengus, nafasnya terdengar jelas seolah memenuhi ruangan rumah lelaki berpakaian lurik itu.
“Ada apa kau memanggilku?” itu bukan sang bocah, melainkan suara dari sang iblis. Tubuh bocah lelaki itu sudah dikuasai olehnya.
Simbah menunduk dalam-dalam, “Kami hendak meminta kekayaan kepadamu, yang mulia.”
Si bocah lelaki itu tertawa bengis. “Hahahaha. Apa yang akan kau berikan sebagai gantinya, hah?”
Para anggota keluarga itu saling menatap. Beberapa di antara mereka mengkerutka dahi, benar-benar tak paham. Simbah mentap lamat-lamat menantu perempuannya, ibu dari anak perempuan itu.
“Manusia-manusia seperti kalian ini, tau apa, hah? Hahahaha.”
Simbah tertunduk, membatu. Tangannya mulai dingin.
“Apa yang anda inginkan?” Menantu wanita Keluarga Cokrominoto itu, menyahut pembicaraan, suaranya bergetar.