Tahun 1994
“Ayah mertua, tolonglah! Apakah ayah akan merelakan perusahaan besar itu berada di tangan gadis yang lahir saja belum, hah? Bagaimana ayah percaya padanya?” seorang pria keturunan Belanda itu membentak pria tua, Mbah Cokrominoto. Ruang makan itu seketika lengang. Semua orang terdiam sejenak. Di ruang makan itu tengah diperbincangkan calon pewaris perusahaan milik Mbah Cokrominoto. Perbincangan yang berat, sehingga anak-anak hendaknya tak ikut serta dalam perbincangan itu. Makan malam kala itu hany dihadiri oleh anak-anak dan menantu Mbah Cokrominoto.
“Kakak ipar, setidaknya bersikap sopanlah pada ayah mertua anda!” seru Yaya, anak kedua keluarga besar Simbah Cokrominoto.
Mbah Cokrominoto terpaut emosi. Kesabarannya sudah habis, “Dasar menantu tak tau diuntung!” Pria tua itu menyiramkan air di gelas minumannya pada lelaki Belanda itu. Kemeja dan jas yang pria itu kenakan, basah.
Seisi ruangan dibuat terkejut oleh tingkah Mbah Cokrominoto, tak biasanya beliau, pria tua itu bermain fisik seperti itu. Jika memang ia bermain seperti itu, maka orang yang menjadi sasarannya itu sudah sangat keterlaluan.
Istri dari lelaki Belanda itu adalah anak pertama dari Keluarga Cokrominoto.
“Ayah, lebih mempercayai gadis dalam kandungan Atha. Daripada harus merelakan perusahaan besar yang telah ayah bangun bertahun-tahun lamanya, jatuh di tangan pria brengsek sepertimu!” Mbah Cokrominoto seperti sudah lepas kendali, emosinya meledak. Ia meletakkan gelasnya di meja makan kembali, memintah semua orang untuk duduk dan kembali ke tempatnya.
Ia mendengus, lalu mencoba mengatur nafasnya perlahan. “Jadi, keputusan yang bisa ayah ambil. Ayah akan mewariskan perusahaan tersebut kepada salah satu anak dalam kandungan Atha, apabila ia telah menginjak usia 23 tahun dan ayah masih hidup. Namun, bila ayah mati sebelum itu, maka perusahaan akan jatuh pada tangan suamimu, anakku.” Ia menuding istri dari lelaki Belanda itu.
“Puas kau?” Simbah memandang lamat-lamat pria Belanda itu.
“Ayah, tak akan membiarkan persaingan tidak sehat terjadi dalam pewarisan ini. Keputusan ayah bulat,” tatapan Simbah pada si Belanda membuatnya tertunduk pelan.
Makan malam usai, Mbah Cokrominoto pergi menuju kamarnya. “Biar kulihat apa yang akan ia lakukan selanjutnya padaku,” gumam Mbah Cokrominoto sembari berjalan menyusuri lorong menuju kamarnya.
Ia menuju ke kamarnya, pintu yang terbuat dari kayu dengan ukiran karya seniman kondang itu dibukanya. Atmosfer budaya Jawa terasa sangat kental di ruang kamar beliau. Ia mendatangi sebuah keris yang ada di sudut ruang kamar tersebut, rangkaian bunga yang menggantung di keris tersebut mulai mencoklat. Simbah menggantinya dengan rangkaian bunga yang baru.
Ritual itu ia lakukan di kediamannya. Sesekali anggota keluarganya turut serta. Sedang Kosim tetap menjadi perantaranya di saat-saat tertentu ketika tengah malam tiba.
Patung-patung di kamarnya serasa ada di tiap sisinya. Jam berdetak, menunjukkan pukul 22.45. Ia segera berbaring di ranjangnya. Simbah memutuskan tidur sebelum tengah malam tiba dan sebelum sang iblis menampakkan batang hidungnya lewat Kosim.
“An, kamu bisa kan pergi ke kamarmu sendiri?” Keluarga Yaya telah pulang dari kediaman Simbah Cokrominoto.
Gadis kecil, anak angkat dari keluarga kecil Yaya dan Atha itu mengangguk. Ia segera berlari menuju ke kamarnya.
“Awas dek,” ujar Yaya sembari menggandeng istrinya yang tengah hamil besar. Mereka menuju ke kamar.
Atha, istri dari Yaya, duduk tengah melamun. “Dek, ada apa? Cerita sama kangmas!”
Atha menarik nafas panjang, “Kangmas, aku khawatir sama anak kita nanti. Ada dua hal yang aku khawatirkan, mas.” Dahi Yaya tertekuk. “Apa itu dek?”
“Jika anak kita menjadi pewaris tunggal dari perusahaan ayah mertua, apakah itu tidak terlalu bahaya, mas?” Wanita itu terlihat cemas. “Bahaya kenapa? Ayah yang akan mendidiknya sampai bisa memegang perusahaan tersebut.”
“Bukan itu mas, aku yakin anak kita nanti akan menjadi seorang yang hebat. Namun, ayah mertua, Mbah Cokrominoto, mengembangkan perusahaan tersebut dengan cara pesugihan. Kesuksesan yang ia dapat adalah dengan melakukan hal itu, mas. Apakah kau rela mengorbankan anakmu untuk mewarisi perusahaan haram itu, hah?”
Yaya mendengus pelan. Lelaki itu tak kuasa menahan rasa sakit yang menyayat hatinya.
“Jika aku tak pernah hadir dalam hidupmu, mas. Mungkin kau tak akan merasakan perih ini. Perih yang timbul akibat kehadiranku, datang membawa ilmu pesugihan dari keluargaku. Mencemari kesucian yang pernah ada dalam hidupmu,” Atha mengelus perutnya yang semakin hari, semakin membesar itu.
Yaya tersentak. “Astaga, apa yang tengah kau bicarakan, dek? Kesucian apa yang pernah menyentuh keluarga ini, dek? Tidak ada kata suci dalam sejarah Keluarga Cokrominoto. Sebelum, kau hadir pun. Sebelum, keluargamu memperkenalkanmu beserta konsep-konsep pesugihan yang diikuti oleh Simbah. Selama itu pula, keluarga kami tak pernah menyebah Tuhan. Simbah melarang keras kami belajar agama. Sebuah kalimat yang sangat Simbah senangi, kau tau apa?”
Atha menggeleng.
“Jalan hidup tak pernah berpihak padaku, untuk apa aku berpaling kembali memihak jalan hidup tersebut. Sedang aku tau yang akan terjadi pada akhirnya nanti. Simbah selalu mengatakan itu pada kami.” Yaya bergedek pelan, merasakan kegerian dari masa lalu dan didikan Simbah yang salah itu.
Atha terbelalak, ia benar-benar tau rasa perih yang dialami Yaya. Lelaki yang akan menjadi ayah dari anak-anak dalam kandungan Atha itu mengusap setetes air mata yang tak sengaja keluar dari pelupuk matanya, “Kau jangan turut sedih, dek. Untuk apa mengenang masa lalu ini. Sebab yang kau rasakan itu lebih parah dan tak patut diingat kembali.”
Yaya mengahadap ke sang istri, “Baiklah, kita pikirkan nasib buah hati ini.”
“Apalagi yang kau takutkan, dek?” lanjutnya.
“Lelaki Belanda dan kakak pertamamu itu. Mereka adalah seseorang yang ambisius. Kakakmu sangat jauh berbeda denganmu, dia adalah orang yang licik. Kita harus berhati-hati. Nyawa kedua anak dalam kandungan ini tengah dalam bahaya,”
Atha tengah mengandung dua orang anak, bukan hanya satu. Tapi dua anak kembar.
“Benar katamu dek, mungkin saja kini mereka tengah memasang penyadap, bom, atau apalah itu di rumah kita,” Yaya melontarkan gurauan pada sang istri.
“Ckck… apa yang harus kita lakukan, mas?” Atha tak menggubris gurauan dari sang suami. Ia sangat serius kali ini. Memang seharusnya begitu, seorang ibu pasti akan merasa sangat resah dengan anak-anaknya.
“Dek, mereka berdua akan menjadi paman dan bibi dari anak kembar yang tengah kau kandung ini. Apa iya mereka tega melakukannya kepada kedua anak ini?”
Atha mengangguk mantap pada Yaya. “Jawabannya, iya. Ambisi mereka bisa membutakan segalanya, mas. Kau seharusnya lebih mengenal mereka daripada aku mengenal mereka, bukan?”
Atha melanjutkan percakapannya, “Aku memang takkan pernah bisa dibilang sebagai seseorang yang suci dari dosa. Tapi aku juga tak mau menjerumuskan anakku ke dalam lubang yang sama sepertiku, mas. Jangan sampai anak kita menjadi seorang pendosa seperti keluarganya.”
“Masa laluku memang kelam, mas. Maka, biarlah itu ada dalam sejarahku saja. Jangan di anakku yang ini. Aku harus bertanggung jawab atas masa depan anakku yang kali ini. Jika aku tak bisa menyelamatkan anak ini, maka aku merasa sangat gagal menjadi seorang ibu. Aku sudah pernah menelantarkan anak tak bersalah sebelum bertemu denganmu. Penuh penyesalan setelah itu. Tapi akhirnya kau datang dan menerimaku. Kau memintaku memeluk erat semua masa lalu kelam itu, mendampingiku untuk terus melangkah maju. Meninggalkan kenangan buruk itu. Mengangkat seorang anak untuk menemaniku, An. Dia bak malaikat kecil yang menolongku di kala terpuruk itu. Dan pada hari ini aku akan melahirkan seorang anak. Benar-benar kisah cinta penuh perjuangan, mas. Lalu apakah kita harus merelakan masa depan anak dalam kandungan ini sama seperti kedua orang tuanya yang pendosa ini?”