Seorang perempuan berkaca mata hitam turun dari sebuah mobil. Dinaikkannya kacamata yang ia pakai sehingga menyibak poninya ke atas. Sebuah tas elegan original bermerk menghiasi satu tangannya.
Ia menutup pintu mobil – berjalan menuju sebuah rumah sederhana milik seorang kepala kepolisian. Dua orang perkasa berjas hitam mengawal wanita itu. Dia adalah Nyonya Minoru.
Dihempasnya pintu rumah tersebut. Satu keluarga tengah bersembunyi – meringkuk ketakutan. Seorang pria berdiri di depannya, kepala kepolisian yang Pasutri Minoru temui beberapa hari lalu. Berbeda, kali ini Nyonya Minoru menemui pria itu di rumahnya, hanya ditemani dua bodyguard-nya.
“Kau tahu kan harus berbuat apa untuk tetap hidup? Ahahahaha,” wanita itu bersedekap. Tawanya menggelegar, memenuhi langit-langit rumah sang polisi. Pria itu mengangguk berat, ia merogoh sakunya. Ia melakukan serangan tak terduga. Ekspetasi mereka, sang polisi akan mengeluarkan ponselnya. Namun ia mengeluarkan sebuah belati dari sakunya.
Dihunusnya belati itu ke depan – mengarah ke dada Nyonya Minoru. Serangan yang cukup cepat, tapi wanita itu berhasil mengelak. Lengan kepala kepolisian itu berhasil digenggam oleh salah satu bodyguard di samping Nyonya Minoru.
“Sayangnya, kau kalah cepat. Kepala kepolisian memang tak boleh membunuh, bukan?” wanita itu tersenyum bengis.
Sang bodyguard merebut belati di tangan kepala kepolisian itu. Kemudian melepaskannya. “Keluarkan ponselmu!”
Kali ini ia benar-benar mengeluarkan ponselnya. Mengetik nomor Dara, kemudian memencet tombol telepon.
Berdering …
“Ha … halo?”
Telepon tersambung, seseorang di seberang sana menjawab sapaan pria tersebut.
***
Rumah Dara.
“… hendaknya kau patut mencurigai keluargamu terlebih dahulu.” Mata Elang yang sedari tadi diam, seketika melontarkan perkataan penuh tanya kepada tiga temannya. Tersirat sebuah cap jelek terhadap keluarga Jacob di dalamnya.
Kembang Desa bergumam, “Sial, kau menakutkan!”
Jacob mengernyitkan dahi, “Maksudmu? Ada apa dengan keluargaku?” pria bertubuh gempal itu merasa tersinggung – bersungut-sungut dibuatnya.
Dara meraih tangan pria gempal itu, mencoba menenangkannya.
“Kring …!” Telepon Dara berdering.
Jacob mendongak penasaran. “Siapa?”
Dara mengangkat bahunya. “Nomor tak dikenal,” Dara mengangkat telepon tersebut.
“Ha … halo?” orang diseberang sana menyapa Dara – permulaan untuk seebuah percakapan. Suaranya gemetar, tapi Dara masih ingat betul dengan suara tersebut.
Terpintas dalam pikirannya, Bapak Kepala Kepolisian.
“Halo? Bapak polisi, ya? Wah gimana kabarnya, pak?” Dara meletakkan jari telunjuk di bibirnya – memberi kode kepada ketiga temannya untuk diam sejenak. Si Mata Elang beranjak – pergi ke halaman rumah Dara. Pun dengan Kembang Desa, wanita itu turut mengekor si Mata Elang.
“Tak baik. Hentikan penyelidikanmu sekarang, nak!” pria di ujung sana benar-benar payah. Suaranya parau, ia sangat ketakutan. Entah seberapa besar keringat yang bercucuran membasahi dahinya. Mungkin bisa sebesar biji-biji jagung.
Dara mengernyitkan dahi, wajahnya yang mulanya ceria seketika berubah drastis. Wajah Dara muram. “Tidak baik? Apa maksud bapak menghentikan penyelidikan?”