“Mengapa kita kesana?” Kembang Desa sedari tadi bingung, tersemat banyak pertanyaan dalam benaknya. Pun dengan Jacob dan Mata Elang.
“Kepala kepolisian. Pria itu bilang, bahwa kita harus menghentikan penyelidikan. Dia ada dalam bahaya, katanya. Lalu aku masih tak paham dengan alamat yang ia sebutkan di akhir perbincangan kami ini. Tempat Pemakaman Umum. Pasti ada maksudnya.”
“Apakah mungkin jika pria itu tengah berada di sana?” Kembang Desa membenahi rambutnya.
Dara mengangguk, “Bisa jadi.”
“Berarti ini gawat. Percepat laju mobil ini, Jack!” pintah Kembang Desa. Jacob menaikan kecepatan mobil. Mobil melaju cepat, masuk ke kawasan padat jalan raya. Kecepatan itu tak berlangsung lama. Sebab jalanan memadat, kemacetan menyerang.
Jacob fokus ke jalanan sembari sesekali peluh menetes dari dahinya. Cuacanya panas.
“Jangan terlalu risau, Rar! Tenanglah!” Jacob mencoba menenangkan saudara angkatnya.
Dara mengatur nafasnya.
“Mata Elang, tentang keluargaku? Mengapa kau bicara seperti itu tentangnya? Dan mengapa aku patut mencurigai keluargaku sendiri?” Jacob menyerbu Mata Elang dengan pertanyaan beruntun.
Mata Elang terdiam. Masih sama seperti beberapa saat lalu. Hening. Sontak tatapannya mengarah ke pria gempal itu. “Suasana di rumahmu, berhasil membuatku merinding. Entah apa yang ada di sana. Aku tak terlalu tahu.”
“JIKA KAU TAK TERLALU TAHU, LALU MENGAPA KAU BILANG AKU HARUS MENCURIGAI KELUARGAKU SENDIRI?” intonasi Jacob meninggi, membuat ketiga temannya terkejut. Suasana di dalam mobil lengang, namun jalanan tak ikut lengang. Masih padat sedari tadi.
“Jack, sudahlah! Kita bisa bahas itu nanti. Permasalahan paling mendesak ada pada kepala kepolisian itu saat ini. Soal Kopi Jawa dan yang tadi, kita bisa bahas itu nanti, Jack.” Dara memegang bahu saudaranya, menenangkannya. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan Jacob, pria gempal itu sangat sensitif bila menyangkut keluarganya.
Jacob mengangguk. Emosi terpampang dalam raut wajahnya.
Mobil berhasil terbebas dari padatnya jalan raya. Jacob mengambil jalan pintas. Mobil itu kembali melaju dengan cepat.
***
TPU Dusun Anggrek.
Beberapa pohon menjulang tinggi di tempat itu. Tanahnya masih terasa becek, maklum tempat ini belum diperbaiki jalannya. Masih berupa tanah dengan beberapa pusara dan nisan di ujungnya.
Hujan sepertinya mengguyur tempat itu kemarin malam.
“Rar, kau yakin polisi itu mengirim alamat tempat ini? Kau tak salah mendengar?”
Dara menggeleng, yakin. Tapi, kenapa tempat ini kosong? batinnya.
Tempat itu membentang luas. “Tempat ini cukup besar, kita harus berpencar. Penting bagi kita menemukan polisi itu,” Dara mengomando ketiga temannya.
Ia mendapat anggukan dari ketiga temannya.
“Catat apa yang kalian temukan disini. Siapa tahu ia hanya mengirim kode pada kita, bukan dimana dia berada. Kita harus teliti. Jika perlu cermati tiap nama yang tertulis dalam nisan-nisan di tempat ini,” Jacob turut memberi komando.
“Tunggu. Aku perlu memberi tahu kalian ini, di ujung percakapan kami. Tepatnya setelah si pria itu menyebut alamat TPU Dusun Anggrek ini. Dia sempat menyebut dirinya sebagai seorang merpati. Aku tak paham maksudnya.”
Ketiga temannya menatap Dara serius.
“Kalian bisa berpencar sekarang. Pikirkan itu sembari berjalan – menjejal lahan luas makam ini.”
Mereka berempat segera berpencar. Kembang Desa dan Mata Elang menyusuri separuh tempat, bagian kiri. Sementara Jacob dan Dara menyusuri bagian kanan makam.
Penyelidikan dimulai.