TPU Dusun Anggrek.
Gadis berkerudung itu mulai lelah. Seperempat lahan makam yang luas itu telah dijejalnya, berulang-ulang kali. Tak ditemukan satu bukti pun olehnya. Dia takut lalai, hingga mengitari tempat tugasnya itu untuk kesekian kalinya.
Yang didapat hanya kembali ke tempat semula dengan rasa lelah. Tak enak hati jika ia kembali dengan tangan kosong pada teman-temannya.
Ia meringsut – jongkok, merehatkan tubuhnya sejenak. Diusapnya keringat yang bercucuran dengan pergelangan tangannya.
Janggal. Tiba-tiba ia merasa teduh. Padahal matahari masih bersinar terik di atas sana. Sebuah bayangan menutupinya seolah ada seseorang tengah berdiri menutupinya dari panasnya sang surya.
Ia mendongak. Seseorang tengah berdiri di depannya – membelakangi dirinya.
Pundaknya sedikit bungkuk, ia memakai pakaian adat jawa, kebaya. Jarik batik menutupi kedua kakinya, terbalut hingga ke mata kaki. Rambut orang itu putih, beruban. Mata Elang menangkap, bahwa wanita itu adalah seorang nenek tua. Ia bukan manusia.
Sontak perempuan berkerudung itu berdiri, terkejut dibuatnya. Ia berpura-pura tak melihat wanita tua itu. Segera berbalik badan, beranjak meninggalkan tempatnya.
“Aku tahu kau bisa melihatku.”
Langkahnya terhenti.
“Jangan berpura-pura seolah kau tak bisa melihat nenek tua ini, nak. Kau akan menyesal karena berpaling dari saya kali ini.”
Mata Elang menelan ludah. Keringat tetap bercucuran membasi dahinya. Tapi kali ini berbeda, keringat dingin yang keluar.
Perempuan tua itu berbalik, menatap punggung Si Mata Elang yang masih terdiam membatu di belakangnya tadi. Wanita tua itu terbungkuk, berjalan menggunakan tongkat sebagai penyangga tubuhnya.
“Nduk ayu,” suaranya melirih, bahasa Jawa yang ia gunakan untuk memanggil si Mata Elang membuat kesan mencekam bagi perempuan berkerudung itu.