“Sial. Mata Elang tak menjawab teleponnya. Kata si Kembang Desa, mereka berpencar tadi.” Jacob mendengus.
“Hei! Berhenti memaki! Kau tak ingat kita dimana sekarang, hah?” cetus Dara pada saudara angkatnya itu.
Jacob menyatukan kedua telapak tangannya, meminta maaf pada gadis keras kepala itu.
“Bunga apa ini? Masih segar, rupanya.” Dara sibuk memperhatikan bunga yang tersandar di nisan Anne Martin itu. Sedang pria gempal itu mencoba menghubungi si Mata Elang untuk kesekian kalinya.
Kembang Desa dalam perjalanan menuju ke tempat kakak-beradik itu.
“Astaga. Bunga? Masih segar pula?” tatapan Dara melotot.
Sontak Dara berdiri, menatap lamat-lamat saudara lelakinya yang ada tepat di beberapa sentimeter di belakangnya.
Jacob mengerutkan kening – mematikan ponselnya yang sudah gagal untuk kesekian kalinya menghubungi si Mata Elang.
Dara meraih buket bunga yang tersandar di nisan Anne Martin itu. Diperlihatkannya pada Jacob.
“Jac, lihat ini. Buket bunga ini masih segar, seolah baru beberapa hari diletakkan di sini. Tapi, bukan itu sumber masalahnya. Anne Martin, apakah gadis itu punya kerabat? Siapa pelayat yang meletakkan buket ini di sini?” beragam hipotesis muncul seketika.
“Itu perlu digaris bawahi, Dar. Atau jangan-jangan, kepala kepolisian itu menyuruh kita datang kemari untuk mengambil buket bunga di makam Anne Martin ini?”
Sontak terlintas sebuah kalimat terakhir yang diucapkan kepala kepolisian itu padanya.
“ASTAGA. Aku Merpati. Jac, inilah jawabannya. Pria itu menyebut dirinya merpati.”
Jacob masih tak paham, ia menggaruk rambut setengah pirangnya yang sebenarnya tak gatal.
“Aku Merpati. Merpati dilambangkan sebagai pengantar surat. Di menyebut dirinya merpati, seorang pengantar surat.”
Jacob paham. “Rogoh buket itu, Dar! Kemungkinan ada surat di dalamnya.”
Dara mengangguk seraya memasukkan salah satu tangannya ke dalam kain buket yang membuntal ikatan bunga cantik di dalamnya.
“Ketemu!” gumam Dara. Ditariknya secarik kertas itu.
“Astaga, kumal. Kertas ini mungkin sudah tertimpa hujan kemarin malam.”