Mark The Dates

Noor Cholis Hakim
Chapter #14

Mawar Kuning dan Sepucuk Surat dari Merpati

Malam hari di Rumah Dara.

Penyelidikan untuk hari ini mereka akhiri terlebih dahulu, kantung mata gadis bergingsul itu sudah menghitam. Ia lelah, sebab semalam kurang tidur – begadang demi menamatkan serial drama favoritnya.

Sementara dengan si Mata Elang, apakah dia telah ditemukan?

Jawabannya sudah. Mereka bertiga menemukan si Mata Elang di bagian kiri makam. Wanita itu tengah meringkuk seraya memeluk erat kedua kaki yang ia tekuk di depannya.

Dia tak berbicara sama sekali selepas dari situ. Sangat berbeda dengan dia yang dulu Dara temui di social media. Di dunia nyata, lebih asyik si Kembang Desa dari si Mata Elang. Hanya saja kerap kali, Dara dan Kembang Desa memiliki perbedaan pendapat – berselisih paham pula. Tapi, segera bisa diatasi oleh mereka dan tim. Jika dibandingkan, pikiran si Kembang Desa cukup lebih dewasa daripada Dara. Mengigat usianya yang nampak lebih tua dari Dara. Pantas jika ia lebih dewasa dari gadis yang belum genap 23 tahun ini.

Gadis bernama pena, Kembang Desa itu bisa menempatkan dirinya dalam kondisi-kondisi tertentu. Fleksibel, ia tau waktu untuk bergurau dan waktu untuk serius (dimana dirinya harus mencorehkan pikiran dewasa dan cerdasnya lewat kata-kata indah dengan suara lirihnya).

Kedua teman Dara itu pulang ke kediaman masing-masing. Meski mereka sudah menjadi rekan dalam tim, masih ada rahasia yang tak mereka kuak di depan anggota tim lainnya. Terutama dengan si Mata Elang, gadis itu benar-benar misterius kata Dara.

Lalu dengan si Kopi Jawa? Jangan tanyakan lagi, jika ada tingkatan yang lebih tinggi dari misteriusnya si Mata Elang, maka itu cocok menggambarkan pemilik akun Kopi Jawa ini. Ia benar-benar sosok yang SANGAT misterius.

Selepas kedua teman Dara pulang, Dara dan Jacob masuk ke kamar masing-masing. Jacob bahkan terlalu letih untuk mengetahui isi surat di kantong Dara. “Biarlah Dara yang membacanya,” pikirnya.

***

Kamar Dara

“Penyelidikan hari ini benar-benar melelahkan. Meski kami masih perlu banyak bukti lagi untuk menguak siapa dalang dari kasus ini. Tim kami bahkan sempat berseteru tadi, namun cepat kami atasi sebelum merusak penyeledikan hari ini. Aku sempat curiga kepada kedua orang tua Jacob kemarin. Namun kini tidak lagi, sebab mana mungkin mereka melakukan hal sebobrok ini. Bayangkan, pemilik perusahaan waralaba termasyhur melakukan kasus penculikan dan pembunuhan. Apa faedahnya? Seseorang yang tergolong sudah punya segalanya, melakukan hal bejat semacam ini. Bisa runtuh kepercayaan masyarakat dan penanam saham nanti. Mengingat ayah dan ibu Jacob benar-benar bekerja keras, terutama dalam mencari investor-investor untuk menyokong perkembangan perusahaan besar mereka. Jadi untuk apa melakukan hal bodoh seperti ini?” Dara menutup buku hariannya. Ia berhasil menumpahkan semua hal yang terjadi hari ini di dalam buku ber-hard cover itu.

Bunga mawar kuning itu ada di depannya. Masih terbungkus kain spunbund rupanya. Dara belum sempat menggantinya ke vas bunga tadi, sebab ia harus bersih diri dulu setibanya di rumah.

Namun, sekarang ia sudah sempat. Ia mengambil vas bunga kaca di sudut ruang kamarnya. Mengisinya dengan air segar, kemudian melepas kain yang membuntal rangkaian bunga itu.

“Ah, tajam.” Nyaris tangannya tertusuk duri pada tangkai mawar itu.

Selesai. Mawar itu menjadi lebih cantik di dalam vas kaca bening. Air segar itu menambah estetika bunga mawar di depannya.

Tentang bunga mawar itu. Dara nyaris lupa dengan sepucuk surar yang ia lipat ke dalam sakunya. Ia segera mengambil surat tersebut yang masih tersimpan di saku celana yang ia pakai tadi.

Handuk masih tergantung di leher Dara. Rambutnya belum kering – masih basah sebab baru usai mandi.

Ketemu! Dara segera mengambil posisi duduk yang nyaman di kursi depan meja belajarnya, tepat di sebelah alamari pakaiannya. Susunan barang di kamar Dara cukup berantakan untuk seorang anak gadis. Dia hampir menjadi perfeksionis jika kamarnya rapi.

“Baiklah mari kita baca,” Dara merebahkan punggungnya di sandaran kursi tersebut. Sesekali ia mengusap kasar rambut basahnya dengan handuk di lehernya.

“Eits, tulisan kepala kepolisian ini tidak terlalu indah bagiku. Yah, mungkin itu kelemahan dari pria tegas nan baik hati ini,” gumam Dara seraya tersenyum sendiri – membuka lipatan pada kertas itu.

Dara mulai membaca.

“Halo. Disini kepala kepolisian mengabarkan–”

Di keheningan malam ini. Tiba-tiba, muncul suara hujan yang deras. Disertai gemuruh petir yang seakan tak mau kalah – membuat Dara yang terpaku membaca surat itu sontak terjingkat.

Dara bergedek, kembali terpaku pada sepucuk surat di tangannya.

“Kalian sempat bertemu dengan saya, semoga kalian tetap ingat pada saya. Mungkin itu akan menjadi pertemuan terakhir kalian dengan saya–”

Dara kembali tersentak. Kali ini berbeda, bukan karena suara petir lagi. Tapi kalimat si polisi itu membuat pikiran Dara berkeliaran kemana-mana.

“Nyawa saya ada dalam bahaya. Itu menjadi resiko saya sendiri. Seseorang tengah mengincar saya. Ia orang yang berbahaya, aku tidak sanggup menyebutnya disini. Dia mengintai dimana-mana, mungkin pesan surat ini menjadi jalan paling aman. Meski tak menutup kemungkinan, bahwa orang yang membahayakan nyawa saya kini bisa mengetahui isi surat ini.”

Lihat selengkapnya