Mark The Dates

Noor Cholis Hakim
Chapter #15

Cendala

Tahun 2007

Seorang bocah lelaki tengah memandang semburat senja di langit-langit lewat balkon rumahnya.

Ia melamun – terlelap dalam pikirannya. Sesekali ia tersenyum miris. Kini ia menunduk dalam-dalam. Menyandarkan kepalanya ke depan, ke pegangan balkon rumah itu.

Bocah itu, Kosim Sumarni. Ia sudah tumbuh, lebih dari seorang bocah lelaki berusia 10 tahun pada kalanya. Ia, putra semata wayang dari asisten rumah tangga, Bik Marni, bekerja pada seorang pemilik perusahaan besar di salah satu kota besar Jawa Timur. Keluarga konglomerat paling berpengaruh di jamannya, keluarga Cokrominoto.

14 tahun sudah bocah lelaki itu ada dalam bayang-bayang seorang perantara pesugihan dengan iblis. Tak cocok rasanya dipanggil bocah lagi. Ia sudah 24 tahun kini.

Seseorang menepuk punggungnya. Ia terkejut.

“Kosim, ada apa denganmu, nak?” seorang perempuan tengah berada di belakangnya. Ia adalah menantu kedua keluarga Cokrominoto, Atha. Kosim segera membenahi posisi berdirinya.

Bocah lelaki itu tersenyum, miris sekali yang tergambar dalam wajahnya.

“Hanya memikirkan sesuatu, Nyonya,” ujarnya. Sehancur apa pun dia, ia masih berusaha memperlihatkan sisi bahagia di depan orang lain.

Entah, seberapa tebal topeng yang dipakai Kosim. Entah, berapa lapis baja yang membalut hati dan perasaan bocah lelaki itu. Di usianya yang belia ia harus dijual kepada orang bertangan kotor seperti Simbah Cokrominoto. Ia telah kehilangan segalanya, bak seperti boneka yang diperalat oleh pemiliknya. Kosim adalah salah satu manusia dari ribuan manusia di luar sana yang mendapat perlakuan buruk. Korban dari kejamnya dunia.

Atha mengendus pelan. Pandangannya lurus, menatap langit-langit dengan senja yang bersemburat di dalamnya.

Dari atas balkon itu, orang bisa melihat sangat jauh. Rumah itu terlalu tinggi untuk disebut sebagai rumah. Bangunan itu lebih tepat disebut pencakar langit. Kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya nun jauh disana pun bisa dilihat dari balkon rumah itu. Meski samar-samar.

Balkon menjadi tempat Kosim menumpahkan semua keluhnya tiap hari. Senja menjadi teman sekaligus pendengar yang baik baginya. Sedang hujan, ia benci dengan suara gemereciknya. Seolah memekakkan telinganya. Sebab kala hujan, pengalaman kelam itu menimpanya. Saat dimana ia dijual oleh sang ibu ke tangan kotor Simbah. Warna emas 24 karat yang menjadi harga jiwa dan raga bocah itu masih membayanginya hingga kini. Juga raut wajah memelas ibunya di hari itu.

“Memikirkan sesuatu apa? Cah bagus, jangan berbohong padaku.” Atha memandang lamat-lamat bocah lelaki di sampingnya.

Kosim menyeringai. Menggaruk leher sawo matangnya yang sebenarnya tak gatal.

Pandangan Atha kembali memaku pada semburat senja di langit. Sesekali burung-burung berterbangan – memunculkan siluet indah di depan langit bak sebuah lukisan yang seolah semburat senja itu menjadi background-nya.

“Aku ini seorang ibu, cah bagus. Aku tau persis perasaan seorang anak dari raut wajah dan gerak-geriknya. Kau merisaukan apa, cah bagus. Tumpahkan semua kepadaku. Aku tau beban di pundakmu itu benar-benar berat. Meski aku tak bisa mengatasinya, setidaknya menumpahkan beban yang kau rasakan selama ini bisa mengobati sedikit perih dalam hatimu, ketimbang menyimpannya sendiri. Itu sesak.”

Mata Kosim menahan tangisan yang hendak keluar. Bibirnya bergetar, duka yang ia rasakan nampak mendalam.

“Menangislah, cah bagus. Semasih menangis diperbolehkan, menangislah. Dalam undang-undang, tak ada pasal yang melarang seseorang menangis.”

Air mata dibiarkan bocah lelaki itu membasahi pipinya – keluar dari pelupuk matanya.

Lihat selengkapnya