“Berhati-hatilah dengan bunga mawar kuning. Banyak makna yang tersirat di dalamnya.”
***
“Bagaimana?” Jacob membuat saudara perempuan di sebelahnya itu tersentak.
Kembang Desa sedang duduk bersedekap di depannya. Sementara si Mata Elang sedari tadi menunduk, memainkan kedua tangannya.
Mereka berempat tengah duduk melingkar, berada di sebuah kedai, Kedai Tani, tempat mereka berkumpul beberapa hari lalu.
Si Mata Elang yang mengusulkan untuk kembali ke kedai tersebut. Pun Dara menyetujui usulan temannya tersebut. Wanita bergigi gingsul itu menduga ada sesuatu tentang kedua orang tua Jacob yang harus ia bahas di luar rumah Jacob. Tak enak rasa-rasanya, bila membahas hal seperti itu di rumah mereka. Kedua orang tuanya bisa pulang kapan saja. Sedang kamera CCTV, tengah memantau mereka di setiap sudut rumah. Canggung nantinya.
Saudara perempuan Jacob itu tengah termenung menatap kedua tangannya yang tengah membawa setangkai bunga mawar kuning di bawah meja kedai. Sempat beberapa kali jari-jari lentiknya itu tertusuk duri dari bunga mawar tersebut. Akan tetapi, belum keluar darah dari wanita itu.
“Bolehkah aku melihat surat itu, Rara?” pria gempal itu masih berusaha mengajuan beberapa pertanyaan pada Dara, beberapa pertanyaan sebelumnya bahkan belum dijawab olehnya.
Dara menyeringai, “Pagi tadi. Aku sudah membakarnya, menjadikannya abu.”
Teman-temannya terbelalak, tak terkecuali si Mata Elang yang sedari tadi diam, sekarang ia juga ikut terkejut.