Tahun 2007
Ruang keluarga, Keluarga Cokrominoto.
Suasana lengang sedari tadi. Kepulan asap dari wedhang jahe di meja menggoda. Cocok rasanya disantap dengan ragam gorengan yang turut tersedia di depan mereka.
Simbah berdehem, “Ehem …”
Seluruh anggota keluarga membenahi posisi. Duduk dengan tegap. Beberapa di antaranya membusungkan dada, bak seorang pembaris yang akan memasuki medan lombanya.
Simbah menyeduh wedhang jahe miliknya di lepek. Ia menyodorkan salah satu tangannya ke depan, mempersilahkan orang-orang yang duduk di ruang keluarga itu untuk turut menyeduh dan menyantap makanan yang ada di hadapannya.
Kosim telah dianggap menjadi bagian keluarga mereka. Bukan sebagai anak pembantu maupun abdi. Bocah lelaki yang telah tumbuh remaja itu turut bersanding dan duduk melingkari meja makan.
Terdengar jelas, suara wedhang jahe yang dituang ke lepek. Terkadang beradu dengan suara, gelas yang terbentur pelan di lepek berbahan kaca tersebut. Kepulan asap turut menyertai wedhang panas yang dituang tersebut.
Seperti itulah Keluarga Cokrominoto sejak beberapa tahun terakhir ini. 12 tahun telah berlalu, selama itulah Keluarga Cokrominoto telah berkembang pesat. Beberapa tahun silam selepas kelahiran kedua putri dari Atha dan Yaya, simbah punya seorang cucu lelaki dari putri pertamanya dengan si Belanda. Usia bocah itu tidak terlalu jauh dengan putri kembar Atha dan Yaya. Namun, sayangnya kedua orang tuanya menitipkannya kepada orang tua si Belanda di negara kincir angin itu. Mereka masih sibuk mengurusi kantor cabang milik Simbah. Sedang pria tua itu tak mau ambil pusing tentang cucu laki-lakinya. Fokus utamanya, ada pada cucu pertamanya dari Atha, menantu kesayangannya, dengan Yaya.
Bukan hanya pasal keturunan, beragam pencapaian dan prestasi telah berhasil ditorehkan oleh lelaki berumur itu.
Seluruh perekonomian di kota ini telah ada campur tangan dari perusahaan milik Keluarga Cokrominoto. Simbah menjadi pemegang dan tolak ukur bagi perekonomian di beberapa kota yang ada di tanah Jawa tersebut. Beberapa perusahaan telah bercabang hingga ke luar kota, menyebar hampir ke seluruh pulau Jawa.
Pencapaian keluarga Cokrominoto ini telah membuhkan hasil, mereka memperoleh sebutan sebagai keluarga konglomerat. Berhasil menjadi salah satu keluarga konglomerat terbesar di bumi pertiwi, bersanding dengan para pebisnis lain yang menguasai perekonomian di luar pulau Jawa.
Perusahaan Simbah tak hanya bergerak di satu bidang saja melainkan puluhan bahkan ratusan bidang lainnya. Bukan hanya soal bisnis waralaba, melainkan banyak hal di luar itu.
Perusahaan surat kabar? Sudah Simbah miliki. Perusahaan penerbit dan percetakan buku? Jangan tanyakan lagi soal itu, Simbah telah menguasai hampir ratusan penerbit di seluruh tanah Jawa ini. Masih banyak lagi perusahaan yang bergerak di bawah kendali Simbah Cokrominoto yang tak bisa disebutkan satu per satu.
Perihal investasi, Simbah adalah orang yang cerdas dalam memainkan saham. Bukan hanya melihat peluang pasar dan bisnis saja, perusahaan Simbah mampu menanamkan investasi ke seribu lebih perusahaan besar yang ada di tanah Jawa ini. Sebegitu besar kekuasaan Simbah, menjadikan lelaki tua ini sangat disegani dalam masyarakat.
Kekayaan Simbah seolah tak ada habisnya. Sebelum dikenal sebagai penguasa perekonomian di beberapa kota Jawa Timur saja, ia sudah sangat berada. Dan sekarang, entah berapa gunung kekayaan lelaki itu.
Itu semua berkat satu hal yang telah ia dan keluarganya lakukan selama beberapa tahun silam. Hingga menjadi adat dan kebiasaan bagi mereka. Pesugihan. Kata yang tak bisa lepas dari bayang-bayang Simbah Cokrominoto dan keluarganya.
Tapi keluarga itu juga tidak bodoh, malah sebaliknya, mereka membodohi. Mengapa? Mudah sekali, tak ada satu pun orang selain anggota keluarga Cokrominoto yang mengetahui tentang hal tersebut. Terkecuali dukun langganan mereka dan Bik Marni. Pun dengan Kosim.
Mereka telah berjanji untuk tak sekali pun membongkar rahasia besar tersebut pada khalayak. Bayangkan saja tanggapan apa yang akan diberikan oleh masyarakat luar bila mengetahui hal besar semacam ini.
Kehidupan seorang pemilik bisnis dari perusahaan raksasa tak dapat dipungkiri dari keberadaan para pesaing. Jika rahasia besar itu terbongkar, tak bisa dibayangkan lagi apa yang akan menimpa perusahaan raksasa milik Simbah, Cokrominoto’s Group.
Perusahaan satu tingkat di bawah Simbah mungkin akan berlomba-lomba untuk menjatuhkan keberadaan Cokrominoto’s Group. Jangankan perusahaan berkelas seperti itu, bahkan perusahaan awam yang baru merintis usahanya dalam bisnis, tak menutup kemungkinan juga akan bersaing menyenggol kekuasaan Simbah dari tahtanya sebagai penguasa dan pusat bisnis di kota besar, Surabaya.
Terlebih Simbah telah menanam modal dan investasi di beberapa perusahaan besar yang ada di luar kekuasaannya. Bukan hanya itu, bahkan Simbah telah banyak menanggung biaya riset para ilmuwan dan ahli arkeologi yang bisa menguntungkan bisnis keluarga konglomerat Cokrominoto itu.
Bagaimana jadinya jika mereka tau kebusukan keluarga tersebut? Parah jadinya.
Simbah meletakkan cangkirnya kembali, menyeruput wedhang jahe yang telah ia pindah ke lepek kaca lebar itu. Warna dan motif keduanya selaras, pasangan cangkir dan lepek dengan harga mahal itu mungkin bisa untuk makan nasi dan ayam goreng selama sebulan penuh. Barang-barang Simbah sangatlah bermerk.
Usai sudah diteguknya secangkir wedhang jahe. Simbah mengusap air yang meninggalkan jejak di atas bibirnya.
Semua orang yang melingkari meja makan itu berhenti meneguk wedhang jahe. Se-formal itu. Keluarga yang semula sering gaduh tak jelas. Kini ketika berkumpul seolah sudah lama tak bersua. Canggung.
Lalu apakabar dengan si Belanda? Ia selalu ada di barisan terdepan ketika rapat pewaris perusahaan bersama para orang berpengaruh dan beberapa investor dari luar Pulau Jawa yang turut andil dalam kesuksesan Simbah. Sedang ia tau bahwa perusahaan itu akan jatuh pada anak Atha dan Yaya yang mereka tau masih hidup, anak itu kini turut tumbuh. Menjadi bagian keluarga penyembah setan itu. Sesuai dugaan, ia menerima didikan bobrok dari Simbah. Bukan soal pendidikan akutansi dan ekonomi yang dimaksud bobrok. Sebab perihal itu jangan diragukan, Simbah bahkan telah mengikutkannya berbagai program akselerasi. Mendatang ia telah direncenakan untuk diikutkan program pendidikan di luar negeri. Setidaknya kedua orang tuanya lega, gadis itu bisa sedikit lama jauh dari kebobrokan keluarganya.
Mengenai kabar anak di panti asuhan itu, tak satu pun yang tau tentang dia, Atha dan Yaya menutup rapat-rapat kisah itu. Terkecuali bidan yang membantu proses lahiran, ia tahu perihal anak tersebut dan berjanji akan menjaganya rapat-rapat. Simbah sempat marah sekejap setelah tau salah satu cucu dalam kandungan sang menantu mati. Tapi, marah itu tak lama, sebab lelaki picik itu hanya butuh salah satu di antara mereka. Kehilangan salah satunya tak apa, malah lebih baik baginya, sebab bisa menghindari peperangan atau konflik antarsaudara.
Dara Athaya. Sesekali Atha dan Yaya pergi ke panti asuhan itu, menengok buah hati dari kejauhan. Tak jarang pula mereka datang ketika azan berkumandang, membuat keduanya hanya terdiam di mobil, tak mampu berkutik. Mereka hanya mampu melihat dari kejauhan, gadis yang mereka tinggal di panti asuhan 12 tahun silam itu telah tumbuh dengan ajaran agama yang baik. Selama itu pula anak yang tumbuh dalam keluarga Simbah seolah selalu ada dalam belenggu lelaki tua itu.
“Baiklah. Ada sesuatu yang harus ayah bicarakan,” Simbah memulai percakapan, semua orang sontak menoleh kepadanya. Sebelumnya, ada yang masih mengusap jejak air di bibirnya, ada pula yang masih membenahi poni rambut yang berjatuhan.
“Ki Atmajaya menelepon. Ada sesuatu yang mendesak katanya. Kita harus kembali ke desa lelaki itu,” lelaki tua itu menyibak rambut berubannya.
“Sekarang ayah?” putri tertua dari keluarga itu menanggapi ujaran dari ayahnya, Nyonya Aruna Minoru.
Lelaki itu memandang wanita di serong kirinya, kemudian ia mengangguk.
“Menantuku, kau pasti senang. Sudah lama aku tidak berkunjung pada besanku. Dia yang paling berjasa atas kejayaan kita sekarang. Itulah kenapa aku sangat menyayangi menantu perempuan ini. Atha,” Simbah membuang muka dari Aruna, berganti pada Atha yang tengah duduk di serong kirinya.
Atha hanya tersenyum tipis. Sedikit menunduk ke sela-sela bawah meja sembari menyeka rambutnya kembali menggantung ke atas daun telinga.
“Astaga, pria ini,” geram Atha dalam hati.
“Cucu tersayangku,” panggilan itu keluar dari mulut Simbah. Semua orang tau, ia tengah memanggil gadis berusia 12 tahun itu yang akan menjadi pewaris tunggal perusahaan raksasa miliknya nanti.
Sedangkan An, tak ada harapan untuknya dipanggil Simbah seperti itu. Ia sadar diri, hanya seorang cucu angkat di mata lelaki berambut uban penuh itu. Dalam benak lelaki itu, anak perempuan tersebut hanyalah buah dari pelampiasan Yaya untuk menghalau Atha mengingat masa lalunya.