“Kalian tahu, apa makna dari bunga mawar kuning ini?” ujar gadis gingsul itu, lirikan matanya tajam.
***
Kembang Desa beranjak dari kursinya, mengekor di belakang Dara yang hendak menuju ke kamar mandi. Menyisakan gadis Mata Elang dan si pria gempal, Jacob, yang saling canggung.
Kamar mandi, Kedai Tani.
Dara menghempaskan tubuhnya ke depan. Persis bersangga ke ujung wastafel. Ia menunduk, bayangannya terpantul oleh cermin di depannya. Sama-sama tertunduk jelasnya.
Napas Dara terengah-engah, tangannya bergetar. Pun dengan bibirnya yang turut bergetar pelan, terpengaruh oleh air mata yang keluar dari pelupuknya. Sebagian menetes ke lengan Dara yang bersikuh ke ujung wastafel, menyangga berat tubuhnya.
Dara masih mengatur napas. Ia mendongak perlahan, melihat dirinya di cermin. Kacau. Rambutnya berantakan sebab ia garuk sedari tadi, namun sejatinya tak ada bagian yang gatal. Keringat sebiji-biji jagung perlahan bercucuran dari keningnya. Padahal ini masih terlalu pagi, tapi Dara sudah berkeringat bak seorang pelari maraton.
Satu tangannya meraih kran air di depannya, badannya bergeser sedikit untuk mendapat posisi pas di tengah wastafel. Air mengalir cukup deras, Dara mengecilkan lajunya. Ditadahinya air itu dengan kedua tangannya yang menangkup. Setelahnya, lehernya dimajukan ke depan, condong ke wastafel. Dibasahinya wajahnya dengan air tersebut. Segar.
Tepat beberapa menit setelahnya, seseorang membuka pintu kamar mandi. Wanita bertubuh tinggi nampak jelas berdiri di belakang Dara. Ia melihat lewat pantulan cermin. Pun dengan wanita itu, pertama yang ia lihat adalah Dara yang tengah membasahi mukanya.
Dara enggan menoleh, melanjutkan membasuh mukanya. Sampai wanita bernama pena Kembang Desa itu menghampirinya. Ia turut bercermin, mengeluarkan sisir rambut dari salah satu saku pakaian yang ia kenakan. Rambut panjangnya terurai, disisirnya lembut.
“Ada apa denganmu?” si Kembang Desa melirik Dara yang masih terpaku menatap wastafel dengan kedua tangannya bersingkuh di ujung wastafel.
Dara mengatur napas, kemudian menoleh pada Kembang Desa yang masih sibuk dengan rambut panjangnya. “Kematian dari kepala kepolisian itu,” jawaban yang singkat dan dapat ditangkap cepat oleh wanita berkaki panjang itu.
“Em … aku tau yang kau pikirkan, Rar. Hatiku turut terpukul dengan kabar pelik itu,” perempuan itu menguncir sanggul ke atas rambutnya, menambah paras cantiknya. Pas dengan julukan Kembang Desa yang ia pakai. Ia kembali menatap Dara. Tangannya turut menanggung berat tubuhnya di ujung wastafel.
“Ya itu benar, aku terpukul. Tapi bukan hanya pasal itu,” wajah Dara muram. Kembang Desa memutar otak, kali ini banyak hipotesa yang timbul alias makna perkataannya tak cepat tepat ditangkap olehnya.
“Lalu, apa?”
Dara mengendus pelan, dikeluarkannya ponsel dari sakunya. Gadis itu mengetik di ponselnya.
Kembang Desa memicingkan mata, menyelidik penuh penasaran dengan apa yang dilakukan Dara.
“Kau tau kan, aku hanyalah seorang anak angkat dari ayah dan ibu Jack,” Dara melantur, mengangkat wajahnya yang semula menunduk menghadap layar ponsel seraya mengerlingkan mata pada Kembang Desa.
Kembang Desa mengernyitkan dahi. Kerutannya yang terbentuk besar, sama dengan rasa tak pahamnya yang turut besar. Kenapa tiba-tiba gadis ini melantur semacam itu? Tak ada sangkut pautnya, pikir Kembang Desa.
Dara menunjukkan sesuatu di ponselnya selepas ia mengetik. Terpampang sebuah tulisan di notes ponselnya. Kembang Desa meraih ponsel itu, memicingkan mata kembali dan terpaku pada tulisan kecil di ponsel Dara.
“Kembang Desa, aku tidak bisa berkata langsung. Pun mengirim pesan. Kemarin aku naif, mengirim pesan di grup tanpa tau resikonya. Baiklah. Kau adalah orang yang paling aku percaya. Sosokmu membuatku kagum, kau benar-benar patut disebut sebagai orang dewasa. Dewasa bukan dari segi fisik saja. Tapi, juga pemikiranmu,”
Kembang Desa tersenyum, melirik pada gadis di depannya yang memuji dirinya. Ia mulai paham dengan jalan main si gadis itu, pandai sekali untuk ukuran gadis yang belum bulat 23 tahun. Kagum dibuatnya, semacam cara kerja agen awam dari CIA.
“Cepat!” sentak Dara serius.
Kali ini kita tengah ada di situasi paling terpojokkan. Bak ada jurang di belakang kita dengan seseorang di depan kita yang menodongkan pistol, hendak menggiring kita jatuh ke jurang itu. Dan tak menutup kemungkinan, orang itu adalah orang terdekat kita. Hapus ini jika kau sudah selesai membacanya.”
Catatan berakhir. Kembang Desa menuruti pintah Dara di akhir catatan.
Kembang Desa mengetik, “Lalu, mengapa kau memercayaiku?” Kembang Desa menyodorkan ponsel di tangannya kembali pada sang pemilik.
Dara membaca. Pun kembali menghapus dan mengetik kembali.
“Naluriku berkata seperti itu. Tidak ada yang bisa kupercaya di tim selain dirimu. Oh ya, sebelumnya aku akan menunjukkan nama asliku. Aku Dara Athaya. Konon katanya, Athaya adalah singkatan dari nama kedua orang tuaku. Entah itu Atha dan Yaya atau Atha dan Haya.”
Ponsel berjalan terus seperti itu. Selepas Kembang Desa mengetik, kemudian diserahkan pada Dara. Kembali lagi seperti itu jalan ponselnya, dioper-oper.
Kembang Desa mengetik, jarinya bergerak lentik dan cepat. Ini jalan terbaik bagi Dara, selain aman juga ia tak perlu memasang rapat-rapat telinganya untuk mendengar suara lirih dari si Kembang Desa yang tak jarang turut termakan angin. Sebab saking lirihnya.
“Eh, serius? Baiklah, salam kenal Dara. Aku tidak akan memanggilmu seperti itu di hadapan Si Mata Elang, perlu kau ketahui, aku cocok menyandang gelar ratu drama, hihihi. Oh ya, bagaimana dengan si Jack? Atau mungkin gadis Mata Elang itu? Mengapa kau tidak percaya pada mereka?”