Tahun 2007.
Ruang keluarga.
Simbah mengambil beberapa sendok nasi di bakul yang terbuat dari anyaman kulit kayu. Nasi itu masih hangat, baru saja selesai ditanak para pelayannya. Cocok disanding dengan ayam kampung bakar, kesukaan Simbah.
Lelaki tua itu memotong bagian tulang lunak dari ayam kampung di depannya, dagingnya lembut. Ia menyantapnya dengan lahap. Ketika Simbah telah makan, artinya semua anggota keluarga boleh turut makan.
Simbah meminta Atha menuangkan air putih di gelasnya. Pandangannya yang lurus, seketika terelakkan ketika melihat seorang lelaki di deret depan Atha yang masih berdiri, Kosim.
Simbah terbelalak. “Astaga, aku lupa kalau kau masih berdiri. Si Belanda itu benar-benar keterlaluan,” dengus Simbah seraya menepuk jidatnya pelan dengan punggung telapak tangannya. Sebab sisi satunya kotor.
Kosim meringis, kakinya sudah pegal sedari tadi. Bocah malang.
“Hm … Kosim, rupanya kau sudah tumbuh dewasa di sini. Mbah, senang dengan perkembanganmu semenjak di keluarga ini. Mari ikut, Simbah!” ajak Simbah beranjak, persis selepas melahap sendok nasi terakhir.
Kosim mengekor di belakangnya.
***
Ruang Tamu Simbah.
“Silakan kau mulai, Kosim!” ujar Simbah. Mereka berdua duduk sila berhadapan di atas kursi kayu kokoh yang panjang, dipisahkan oleh papan catur kecil dengan bidak-bidak catur lengkap di atasnya.
Kosim menggerakkan salah satu pion berwarna putih miliknya, dua langkah ke depan.
“Nak, kau tahu mengapa Simbah sangat ingin menjadi orang sukses?” tanya Simbah seraya menggerakkan pion hitam miliknya.
Kosim bergedek, “Tidak, Mbah.”
Mereka berdua terlarut dalam permainan catur di hadapannya. Mulutnya tetap berucap, tapi kedua tangannya juga tetap bergerak.
“Kata orang, kekayaan itu bukan segalanya, uang bukan lah pusat dari kehidupan. Ya, itu kata orang-orang yang bisa dibilang munafik. Manusia di luar sana semakin buas, Nak. Jika kau tidak ber-uang, maka kau tidak akan disegani. Memang hidup tak melulu soal uang, tapi kita hidup juga butuh uang. Kini, dunia tengah memandang kekayaan sebagai pusat dari sistem tata surya. Mereka yang semula berpaling, akan rela meruntuhkan egonya dan mendekat. Tapi, kita yang ber-uang akan bertahan hingga akhir hayat.”
Kosim tertegun mendengar Simbah yang tengah bermain kata. “Maaf jika Kosim lancang. Tetapi, Mbah, apakah ini tidak terlalu melampaui batas? Rantai pesugihan iblis ini tidak akan terputus jika tetap dilanjutkan. Strata pesugihan Keluarga Cokrominoto, semakin lama akan semakin tinggi. Bagaimana jika itu hanyalah akal bulus dari lelaki dukun itu, Mbah? Sepandai apa pun keburukan berhasil kita tutupi, suatu saat nanti akan terkuak juga, Mbah. Saya di sini hanyalah seorang abdi, Mbah boleh memperalat saya hingga ribuan kali. Tapi sebanyak itulah ketakutan akan kehancuran Keluarga Cokrominoto pada saya timbul.”
Tangan Simbah dan Kosim sedari tadi bergerak, membuat menari para bidak catur di atas papan hitam putih tersebut. Hingga menyisakan bidak raja milik Kosim dan bidak raja juga dua kuda milik Simbah Cokrominoto.
“Kosim, aku pernah bilang padamu, jangan terlalu engkau risaukan perkara kehancuran keluarga ini. Hancur memang bisa, tapi melebur itu jarang adanya. Meski hancur, keluarga ini tidak akan kehabisan para budak, manusia yang ada di bawah kita akan tetap tunduk dan setia, Nak.”
Simbah mengambil salah satu bidak kuda, lalu menggerakkannya maju sesuai aturan. Bidak raja milik Kosim terhimpit.
“Lalu, sang budak akan berjalan maju, melindungi sang pemimpin. Raja tetap bertahan di tahtanya. Skak mat!” seru Simbah mengakhiri permainan catur.
***
“Besok kami akan menemui anda,” ujar Simbah lantang di teleponnya.